Pusakanesia

Pusaka Negeri Untuk Berbakti

 
Aku
Hanya orang biasa yang suka memandangi keindahan masa kini. Aku suka menikmati indahnya masa silam pada bentuk yang masih tersisa. Aku hanya ALIM yang ingin berbagi apa yang pernah aku baca, aku lihat, dan aku dengar. Aku hanya ALIM yang ingin bersama-sama menjaga kenangan sejarah yang masih tersisa.
Aksi
Asa
Menapak kembali jalanan hidup. Walau kerikil khilaf dan salah menghadang, tetap harus kita tatap. Setelah sebulan kita berusaha membasuh jiwa, agar di 1 Syawal bisa kembali ke fitrah. Mari saling buka hati untuk menebar maaf. Melanglang hari baru dengan jiwa bersih dan tujuan mulia, menjadi hamba dengan ridho Ilahi. Amin!
Aktif

Free shoutbox @ ShoutMix
Hit
free hit counters
Surabaya Lama
28 Juni 2007

Nostalgia Sumbang
di Kembang Jepun

Sambil jalan-jalan atau makan malam di Pusat Kya-kya Kembang Jepun, coba layangkan kenangan sejenak akan sejarah kejayaan masa lalu di kawasan ini. Sejauh mata memandang, sepanjang jalan kawasan Kembang Jepun yang tampak adalah jajaran puluhan bangunan yang berdiri megah, kebanyakan berarsitektur kuno ala negeri Belanda. Meski kebanyakan catnya kusam berdebu, terkesan tak terawat, dan tak indah. Kesibukan sehari-hari sebagai pusat perdagangan yang menjadi irama hidup di jalan itu, seakan menutup semua kesan tak sedap yang menghiasi Kembang Jepun selama ini.

Tapi, justru di sinilah sejarah panjang kota Surabaya sebaga kota perdagangan di mulai. Keramaian perdagangan yang biasa ditemui di sepanjang jalan ini adalah sebuah etape kelanjutan dari kegiatan usaha yang tak pernah berhenti. Berbagai toko mesin disel, grosir, kantor advokat dan belakangan muncul kantor-kantor baru seperti bank, dan toko barang dagangan lainnya, makin menambah catatan panjang kehidupan kawasan ini.

Berbicara tentang Kembang Jepun, tentu tak bisa dilepaskan dari kawasan Jembatan Merah secara keseluruhan. Bukan hanya sejarah heroisme arek-arek Suroboyo mempertahankan kotanya, tapi juga sejarah kekuasaan pemerintah kolonial Belanda, ratusan tahun lalu. Sejarah panjang ini bisa ditelusuri dari berbagai catatan sejaah, dari para peneliti dan orang-orang yang mengabdikan hidupnya untuk mencatat perkembangan kotanya.

Ir Handinoto, pengajar arsitektur Universitas Kristen Petra yang pernah meneliti perkembangan kota dan arsitektur kolonial Belanda di Surabaya pada 1870-1940 memaparkan, sejak zaman Deandels, 1811, pusat pemerintahan ada Kota Surabaya terletak di kawasan Jembatan Merah. Kantor residen dan ruang kegiatan pemerintahan lainnya seperti bea cukai serta kantor kepolisian, semua tergabung dalam satu gedung yang berhadapan dengan Jembatan Merah.

Hingga tahun 1905, semua pusat kegiatan pemerintahan tetap berada di kawasan Jembatan Merah. Bahkan kapal-kapal dari selat Madura yang hilir mudik menyusuri Kalimas dapat berlayar menuju Jembatan Merah. Waktu itu, pelabuhan Tanjung Perak belum ada. Kontan saja, sebagai pusat pemerintahan yang selalu ramai akhirnya menyedot warga kota untuk beramai-ramai pula menggelar kegiatan ekonomi di sekitarnya.

Di sebelah barat Jembatan Merah, seperti jalan Jembatan Merah (dulu disebut Willenstraat) dan jalan Rajawali (Heerenstraat), dipenuhi pedagang-pedagang kelas kakap dari bangsa Eropa. Maskapai dan bank-bank kebanyakan berada di wilayah ini. Sementara wilaah di sebelah Timur dihuni oleh warga Asia, seperti Tionghoa, Arab dan Melayu. Pembagian wilayah bagi kelompok-kelompok ini tidak terlepas karena adanya undang-undang wilayah atau Wijkenstelsel yang ditetapkan Belanda.

Dukut Imam Wibowo, penulis buku Soerabaia Tempo Doeloe, memiliki catatan sendiri mengenai perkembangan kota Surabaya, terutama kawasan Kembang Jepun. Menurutnya, masyarakat Cina menjadi golongan yang sangat penting di Surabaya. Keberadaan mereka sudah dimulai sejak tahun 1411, dan pada awalnya mereka mendiami suatu wilayah yang disebut Chinese Kamps atau Kampung Cina, di sebelah timur Kali Mas.

Jalan-jalan yang didiami warga Tionghoa itu antara lain Chinesevorstraat atau kini jalan Karet, dan Hendelstraat atau kini dikenal Kembang Jepun. Dan di Kembang Jepun inilah kemudian berkembang menjadi sentra perdagangan besar di kota Surabaya. Posisi yang strategis sebagai jalan penghubung dan muara dari banyak jalan kecil yang terdapat di sepanjang jalan itu, menjadikan Kembang Jepun tumbuh berkembang menjadi pusat grosir sekaligus rumah tinggal para pedagang. Apalagi, para pejabat pemerintah Hindia Belanda yang tidak begitu pintar mengelola bisnis, lalu memperjualberlikan pacth atau hak monopoli, seperti hak atas rumah gadai, candu dan pelacuran kepada pedagang Tionghoa.

Asal nama Kembang Jepun, menurut Hadinoto, bermula ketika Jembatan Merah menjadi pusat kota. Pedagang yang mau berbisnis di Hendelstraat harus melewati pemeriksaan di residen. Setlah memperoleh ijin dan kegiatan berdagang berlangsung, akhirnya memunculkan bermacam hotel dan losmen untuk tempat menginap para pebisnis. Kehadiran hotel dan losmen itu ternyata menarik tumbuhnya kupu-kupu malam dari negeri Sakura, yang pada waktu itu tengah mengalami kegelapan. Kupu-kupu malam itu berjajar, terpampang menghias malam-malam sepanjang jalan itu. Orang kemudian menyebutnya jalan Kembang Jepun. Jepun dalam bahasa Melayu berarti Jepang.

Searus perkembangan kota Surabaya, muncul sentra-sentra dagang lain, apalagi setelah selesai pembangunan Pelabuhan Tanjung Perak pada tahun 1910. Perdagangan tak lagi terpusat di Jembatan Merah dan sekitarnya. Kembang Jepun, yang semula paling dikenal sebagai pusat dagang sekaligus menjadi rumah hunian, mulai ditinggalkan. Suasana di kawasan itupun makin sepi, tak seramai sebelumnya, apalagi di malam hari.

Namun kegiatan perdagangan tetap berlangsung. Jajaran gedung yang berderet di sana, berkembang menjadi gedung perkantoran. Begitu pula ketika Jembatan Merah diramaikan dengan berdiriny Jembatan Merah Plaza, sepanjang jalan Kembang Jepun menjadi tujuan para pedagang kaki lima (PKL) membuka usaha, meski jumlahnya tak banyak.

Dan, setelah dibuka menjadi Pusat Kya-kya, Kembang Jepun kembali hidup dan ramai. Bahkan ramai sekali. Tapi di tengah keramaian itu, ada segumpal kegundahan para pedagang lama yang mnggelar dagangan di kawasan relokasi baru tersebut. Tak hanya pedagang lama, pedagang barupun yang direlokasi dari tujuh jalur yang ‘dipaksa’ pindah ke kawasan pusat Kya-kya itu juga tak kalah mengeluh. Kegelisahan para PKL itu, dipicu oleh keraguan akan keberhasilan berjualannya, juga karena ketentuan yang disyaratkanpengelola yang dirasa terlalu berat. Nasib para pedagang itupun masih menggantung. Kenangan dan harapan warga kota Surabaya akan kejayaan Kembang Jepun terasa bagai nostalgia sumbang!-husnul m

*Dimuat di majalah Mossaik, Juli 2003

Label:

posted by Alim @ Kamis, Juni 28, 2007  
0 Comments:
Posting Komentar
<< Home
 
About Me

Name: Alim
Home: Surabaya, Jawa Timur, Indonesia
E-mail: parama.j@gmail.com
See my complete profile
Previous Post
Archives
Links
Template by

Free Blogger Templates

BLOGGER