Pelajaran (dari) Televisi Suasana sore yang menyenangkan, Yatno bergegas pulang dari tempat kerjanya. Yang menyelimuti pikiran tak lain wajah putra pertamanya. Bocah berusia tiga tahun itu kini sampai di fase lucu-lucunya seorang anak kecil. Badannya gemuk tapi tetap lincah, membuat gemes kedua orang tuanya kala berlama-lama memperhatikan gerak-geriknya. Kehadiran si kecil menjadi motivasi tersendiri bagi Yatno. Selain makin bersemangat dia bekerja, keinginan selalu dekat dengan si kecil sering kali meracuni pikirannya. Rasanya tak ingin dia membuang waktu di luar jam kerja, tanpa berada di samping putra kesayangannya. Kehadiran Tole adalah tonggak bagi Yatno untuk semakin memantabkan statusnya sebagai pemimpin rumah tangga, suami dari seorang istri dan bapak dari seorang anak. Dengan hati-hati Yatno bersikap dan memperlakukan Tole. Karena bocah itu adalah harapan masa depannya kelak. Selain itu Yatno juga ingin membuktikan bahwa dia dan istrinya sanggup menuntun anaknya menjadi pribadi yang baik dan membawa kebaikan bagi siapapun di sekitarnya kelak. Di ruang keluarga, seperti biasa setelah sholat Maghrib mereka berkumpul di ruang keluarga. Dengan televisi menyala, Yatno dan istrinya menyaksikan tayangan opera sabun. Beberapa kali dia memindahkan chanel televisi. Semua sama, menayangkan sinetron yang temanya masih juga klise. Jauh bumi dan langit bagi kenyataan keseharian masyarakat kita sesungguhnya. Terbersit dalam pikiran Yatno, kenapa sekarang tak ada lagi sinetron sejenis Jendela Rumah Kita, Rumah Masa Depan, Dokter Sartika atau seperti Keluarga Cemara. Sesuatu yang lebih menggambarkan realitas masyarakat kita. Tidak sekedar membumi tapi juga memberi tauladan, bagaimana berbudi yang baik. Sesuatu yang sederhana tapi bisa dikemas dengan apik. Di rumah sederhananya, keluarga kecil ini berkumpul terus menerima terpaan sajian televisi ditemani teh manis dan kue kecil. Walau tetap sibuk dengan mobil-mobilan kecilnya, sesekali Tole juga tampak memperhatikan tayangan televisi itu dengan tekun. Sepertinya dia juga sedang menangkap sesuatu, mungkin juga sedang mempelajari sesuatu dari tayangan itu. Pada suatu chanel yang sedang mereka lihat, tampak seorang ibu dan seorang anaknya yang lain. Mereka sedang bersenang-senang menyiksa seorang anak, yang ternyata anak dan saudara tiri mereka. Hingga sampai pada adegan si anak tiri tadi disiram dengan minyak tanah oleh ibu dan saudara tirinya. Kemudian bersiap untuk dibakar. Setelah masuk tayangan iklan, Yatno pun mengganti lagi chanel. Tayangan perkelahian muncul, bahkan salah satunya ada yang memegang belati. Begitu iklan muncul, kembali chanel tv itu kembali berganti. Sekarang yang muncul di layar kaca berukuran 14 inch itu seorang ibu muda yang berusaha menyiksa pembantunya. Tampaknya malam itu adalah malam puncak konflik dari semua sinetron di hampir semua stasiun tv di negeri ini. Malam dimana si Jahat harus diekspos saat sedang menundukkan si Baik dengan segala daya liciknya. Hari masih pagi saat Yatno kembali berkutat dengan pekerjaan di meja kantornya. Tak lama telepon di dekatnya berdering. Ternyata di seberang istri Yatno yang menghubunginya. “Kenapa begitu?” tampak raut wajah Yatno heran. Istri Yatno melaporkan kalau pagi tadi anaknya, si Tole, telah berlaku kasar pada si Budi anak tetangga, teman bermainnya. “Kenapa tidak kamu jaga,” sergah Yatno lagi. Si Tole ternyata telah menyiram tubuh si Bayu dengan campuran air dan tanah yang semula jadi bahan mainan mereka berdua di halaman rumah. Tidak itu saja ternyata kaki Bayu juga menerima hantaman ember kecil mainan mereka hingga Budi menangis sejadinya. Budi pun diantar pulang oleh istri Yatno. “Sudah, kamu minta maaf sana,” kemudian Yatno pun meletakkan gagang telepon. Yatno hanya bisa diam, benaknya meraba bagaimana itu bisa dilakukan si Tole, anaknya. Apa karena yang dia tonton semalam di televisi? Kalau itu perangsangnya, berapa banyak lagi anak-anak yang juga menyaksikan adegan-adegan serupa semalam? Jika semua menyerap mentah-mentah, seperti apa jadinya kelak negeri ini. Mengingat tv menjadi media yang banyak digemari sekarang. Kabarnya masyarakat kita lagi tv minded, karena daya tariknya lebih dibandingkan dengan media massa lain. Beban pikiran Yatno semakin banyak. Dia sangat tidak ingin anaknya menjadi arogan, terlebih menjurus anarkis. Dia sangat tidak berharap anaknya menjadi tidak santun, dan tak bisa menghargai orang lain. Haruskah dia melarang anak dan keluarganya untuk tidak menonton tv tanpa didampinginya. Tapi tv adalah satu-satunya hiburan kala mereka ditinggalnya bekerja. Dalam tataran sosiologis-psikologis, pengalaman ini bisa dikaitkan dengan sebuah model dalam tinjauan efek komunikasi massa. Harold Lasswell (1927), dengan teorinya Hypodermic needle model atau Magic bullet theory. Menganggap bahwa komunikasi masa dapat mempengaruhi perilaku dan pemikiran masyarakat dengan seketika dan secara efektif. Ibarat dokter yang menyuntik pasiennya atau peluru yang ditembakkan pada targetnya, langsung kena sasaran. Teori ini menganggap masyarakat sebagai pemirsa yang pasif, karenanya dapat dengan mudah termakan pengaruh media. Terlalu sederhana barangkali kalau kita menilainya demikian, terutama pada masyarakat kita di jaman seperti ini. Tapi kita tidak bisa juga menutup mata, pada kontek tertentu bisa juga ini terjadi. Bagi anak-anak misalnya, sayangnya ini yang seringkali luput dari perhatian kita. Sebagian pendapat menyatakan, sekarang sudah tidak memungkinkan penonton bisa memilih dengan bebas dan merdeka. Semua lebih karena model tayangannya yang relatif sama, hampir di setiap chanel tv. Demikian halnya dengan tayangan untuk anak. Tak heran kalau kemudian muncul pertanyaan, Anak siapa yang dewasa ini bisa memilih tayangannya secara sehat, kreatif, dan berbasis pada nilai budi pekerti? Bahkan tayangan yang jelas-jelas ditujukan untuk konsumsi anak masih juga diwarnai dengan kekerasan yang mengkawatirkan. Setuju dengan apa yang disampaikan pakar komunikasi Unhas, S. Sinansari Ecip, pada sebuah kesempatan “Sejumlah tayangan televisi perlu difilter lebih lembut.” Orang dewasa saja bisa termakan pengaruhnya, apalagi anak-anak yang masih perlu dibangun frame of thinking-nya. Masa depan negeri ini juga berada di pundak anak-anak kita.-az.alim Label: Opini Pusaka |