Pusakanesia

Pusaka Negeri Untuk Berbakti

 
Aku
Hanya orang biasa yang suka memandangi keindahan masa kini. Aku suka menikmati indahnya masa silam pada bentuk yang masih tersisa. Aku hanya ALIM yang ingin berbagi apa yang pernah aku baca, aku lihat, dan aku dengar. Aku hanya ALIM yang ingin bersama-sama menjaga kenangan sejarah yang masih tersisa.
Aksi
Asa
Menapak kembali jalanan hidup. Walau kerikil khilaf dan salah menghadang, tetap harus kita tatap. Setelah sebulan kita berusaha membasuh jiwa, agar di 1 Syawal bisa kembali ke fitrah. Mari saling buka hati untuk menebar maaf. Melanglang hari baru dengan jiwa bersih dan tujuan mulia, menjadi hamba dengan ridho Ilahi. Amin!
Aktif

Free shoutbox @ ShoutMix
Hit
free hit counters
Batik Suroboyo
16 Juli 2007

Tanda Mata Kota Pahlawan
Agar tak lekang kenangan di Surabaya. Jangan beranjak sebelum membawa Batik Suroboyo.
Merangsak tumbuh menuju kota Metropolitan, dengan ragam dinamika dan potensinya. Itu Kota Surabaya. Masyarakatnya heterogen, dengan jumlah lebih dari 4 juta jiwa, Surabaya merupakan pusat bisnis, perdagangan, industri, dan pendidikan di kawasan timur Pulau Jawa.
Surabaya menjadi salah satu pintu gerbang perdagangan utama di wilayah Indonesia Timur. Dengan segala potensi, fasilitas, dan keunggulan geografisnya, kota ini memiliki potensi ekonomi yang sangat besar. Segala sektor yang ada di kota ini sangat mendukung untuk kian meyakinkan sebutan Surabaya sebagai kota perdagangan dan ekonomi.
Bidang pariwisata dan jasa tak kalah pesatnya bersaing di kota berlambang pertarungan Ikan dan Buaya. Destinasi wisata yang ada terus dipoles agar menjadi jujukan para wisnu dan wisman. Seperti layaknya sebuah tujuan wisata, harapan meninggalkan kenangan selalu timbul setiap kali meninggalkan lokasi tersebut.
Banyak hal yang bisa jadi mozaik kenangan, salah satunya adalah dengan tanda mata. Ragam souvenir bisa memberi bekas tak terlupa. Bagaimana dengan Kota Pahlawan yang heterogen dan cenderung modern? Jangan salah, Surabaya juga bemiliki kekhasan budaya. Satu diantaranya berupa batik, yang juga merupakan karya peninggalan leluhur negeri ini.
Motif khas ayam aduan dalam legenda Sawunggaling dan Daun Semanggi. Merupakan corak khas Batik Suroboyo, sangat kuat kesan Surabaya-nya. Hj. Putu Sulistiani Prabowo, 49, adalah penggagas lahirnya batik khas Surabaya, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Batik Suroboyo itu.
Konon cerita lahirnya Surabaya menginspirasi Putu untuk melahirkan batik dengan motif khas Surabaya. Akhirnya ayam Sawunggaling dan Semanggi yang juga menjadi ikon Surabaya yang jadi pilihan sebagai corak andalan.
Namun demikian, aku Putu panggilan akrab Putu Sulistiani Prabowo, berbagai corak coba terus digali. Kedepan Putu mengaku masih tetap akan menggunakan corak bergambar ayam, terutama ayam Bekisar, dengan sekian modifikasinya untuk dikreasi di atas lembar kain batiknya.
Kala ditanya apa lagi yang membedakan Batik Suroboyo dengan batik lain yang sudah lebih dulu ada? Putu menyebut salah satunya pada warna. Diakui Putu, hingga sekarang dia terus mencari warna yang khas Surabaya. ”Saya maunya berbeda dengan batik lain yang sudah ada, maunya cerah mengingat karakter orang Surabaya yang berani dan sportif,” tutur ibu 2 anak ini.

Khas dari Surabaya
Menjadi kota besar bagi Surabaya membawa konsekuensi sendiri. Menonjol dalam hal pertumbuhan ekonomi dan perdagangan, bahkan jasa. Sesuatu yang khas sedikit tidak tampak. Seperti dalam hal cendera mata, tak heran bila beberapa pendatang yang singgah di kota ini kemudian bertanya-tanya; Apa souvenir khas Surabaya?
Setidaknya demikian pengalaman yang pernah ditemui Putu. Berangkat dari itu, kemudian membakar semangat Putu untuk mencoba melahirkan sesuatu yang menjadi sangat khas Surabaya. ”Banyak orang datang ke Surabaya tetapi mereka tidak dapat menemukan cendera mata khas Surabaya. Kita yang mempunyai kemampuan didukung dengan segala kekayaan lokal kenapa tidak kita tampilkan,” sergahnya.
Batik, kemudian menjadi pilihan. Berbekal bakat melukis yang dimiliki Putu kecil, dan kemauan untuk terus belajar. Akhirnya dia mampu membuat batik dengan corak yang kental Surabaya. Itu pula yang kemudian mendorong dia untuk mengklaim Batik Suroboyo, karena memang hanya dia yang mampu melahirkannya.
Putu mempelajari batik sejak tahun 1998. Kisahnya, dia mulai belajar dengan mengunjungi beberapa sentra batik yang ada di Pulau Jawa ini. Kemudian untuk menambah ilmunya, Perempuan alumni Farmasi Universitas Airlangga Surabaya tahun 1984 ini sengaja belajar pada salah seorang guru dari SMSR (Sekolah Menengah Seni Rupa) Surabaya, dengan cara les privat. Tidak berhenti sampai di sana, Putu juga belajar tentang pewarnaan di Balai Penelitian Batik di Yogyakarta, selama beberapa minggu.
Alhasil, mulai menggoreskan malam lewat cantingnya di atas helai kain. Maka jadilah beberapa karya batik. Setelah itu mulai coba ditawarkan ke beberapa kawannya. Melihat respon yang bagus, kemudian mulai dia mengikuti beberapa pameran. Menggunakan nama ’Dewi Sartika’, kini batiknya sudah cukup dikenal. Apalagi dengan kekhasan Suroboyo-nya itu.-az.alim

---oOo---

Eksklusif, di Satu Gerai

Batik Suroboyo, sekilas memang tidak berbeda dengan batik kebanyakan seperti batik Madura atau Batik Kenongo asal Sidoarjo. Pada dasarnya batik, sejauh itu batik tulis yang dikerjakan langsung oleh tangan-tangan terampil relatif sama. Namun bila kita mau lebih detil mencermatinya, maka akan tampak perbedaannya.
Semula yang membantu Hj. Putu Sulistiani Prabowo dalam membatik hanya dua orang pembatik dan satu orang untuk pewarnaan. ”Pada mulanya lumayan juga, satu bulan bisa menghasilkan 5 potong kain batik,” kisahnya pada Eastjava Traveler, ketika ditemui di galeri yang merangkap workshopnya.
Kini karyawannya sudah berjumlah 15 orang. Dan kain batik yang mampu dihasilkan bisa mencapai 30 potong dalam satu bulan. Proses pembatikan di workshopnya asli dilakukan oleh tangan terampil (handmade) tergantung tingkat kerumitannya, tapi paling lama memakan waktu dua minggu.
Proses pembuatan sama dengan batik kebanyakan, mulai dari bahan dasar kain yang diberi kanji, digambar, di batik dan seterusnya. Untuk pewarnaan, aku Putu, masih menggunakan pewarna sintetis, konon mulai mencoba menggunakan pewarna alam. Menggunakan pewarna sintetis semata demi mengikuti keinginan pasar yang cenderung lebih suka warna-warna yang bright.
”Bahan juga menjadi salah satu media kreasi, selain pada motif,” ungkap ketua IKASFI (Ikatan Keluarga Sarjana Farmasi Indonesia, Red) Jatim ini. Kini bahan yang digunakan tidak hanya kain katun, tetapi juga kain tenun. Beberapa bahan tenun lain seperti yang berbahan serat kayu atau pelepah pisang juga digunakan. ”Ternyata hasilnya juga bagus, banyak yang suka,” tegasnya.
Putu mengaku, produknya banyak diserap pasar terutama pada ajang-ajang pameran, atau bila ada kunjungan tamu dari luar daerah. Kini produk batiknya makin diorientasikan pada pemenuhan pasar, seiring makin banyak pesanan yang datang. ”Ajang pameran masih saya anggap paling baik untuk pemasaran,” tambahnya. Beberapa pameran yang pernah diikuti di Jakarta, Batam, China, dan Lombok, selain di Surabaya sendiri.
Dewan Kerajinan Nasional Daerah (DEKRANASDA) Kota Surabaya turut memfasilitasi, ”Dalam hal ini Ibu Wawali sebagai ketua, turut memberi dukungan dalam hal promosi,” tuturnya. Bahkan Walikota juga kerap berkunjung ke galeri Dewi Saraswati di jalan Jemursari Utara II/19 itu.
Ragam produk yang dihasilkan berupa kain panjang/selendang, bahan hem/baju pria, syal dan scraft. Dan harga Batik Suroboyo juga variatif, untuk bahan katun sekitar Rp. 400 ribu. Sedangkan yang berbahan sutra harganya di kisaran Rp. 3 juta.
Saat ditanya hal pemasaran, kata Putu, masih ditangani sendiri. Ditanya adakah keinginan untuk memperluas jaring pemasarannya ke daerah lain, Putu menjawab, niat ke arah sana sudah ada. Terlebih datangnya beberapa tawaran dari beberapa relasi untuk menjadi perpanjangan jalur pemasaran seperti di daerah Bali dan Jakarta.
Putu masih lebih yakin menggunakan satu gerai di galerinya sebagai satu-satunya konter Batik Suroboyo. Alasannya untuk tetap menjaga eksklusifitas produknya. Di galerinya ini, pengunjung bisa langsung melihat proses pembuatan batik, diharapkan lebih meyakinkan batik itu karya tangan terampil (handmade). Menurut Putu, hal ini bisa juga menjadi alternatif jujukan wisata di Surabaya.
Mencermati persaingan; yang melatarinya menekuni batik adalah pemikiran batik itu ibarat karya seni, seperti lukisan. Dimana sang perajin bisa berekspresi seperti pada motif, warna, dan bahan. Dari sana muncul keyakinan dia masih punya peluang. Tentu saja dengan terus belajar dan membaca selera pasar agar mampu bersaing.-az.alim

*Dimuat di Majalah Eastjava Traveler, Maret 2007

Label:

posted by Alim @ Senin, Juli 16, 2007  
0 Comments:
Posting Komentar
<< Home
 
About Me

Name: Alim
Home: Surabaya, Jawa Timur, Indonesia
E-mail: parama.j@gmail.com
See my complete profile
Previous Post
Archives
Links
Template by

Free Blogger Templates

BLOGGER