Pusakanesia

Pusaka Negeri Untuk Berbakti

 
Aku
Hanya orang biasa yang suka memandangi keindahan masa kini. Aku suka menikmati indahnya masa silam pada bentuk yang masih tersisa. Aku hanya ALIM yang ingin berbagi apa yang pernah aku baca, aku lihat, dan aku dengar. Aku hanya ALIM yang ingin bersama-sama menjaga kenangan sejarah yang masih tersisa.
Aksi
Asa
Menapak kembali jalanan hidup. Walau kerikil khilaf dan salah menghadang, tetap harus kita tatap. Setelah sebulan kita berusaha membasuh jiwa, agar di 1 Syawal bisa kembali ke fitrah. Mari saling buka hati untuk menebar maaf. Melanglang hari baru dengan jiwa bersih dan tujuan mulia, menjadi hamba dengan ridho Ilahi. Amin!
Aktif

Free shoutbox @ ShoutMix
Hit
free hit counters
Perahu Madura
01 Oktober 2007
Reka Cipta Paraoh Majang

Ketika laut menjadi tumpuan harapan. Bersama perahu memecah ombak. Menitip asa demi tradisi.


Kala sumber hidup berada nun jauh di tengah laut, ombak dan angin yang menghadang. Tak pula menyurutkan semangat untuk meraup limpahan rejeki Tuhan itu sebanyak manusia bisa. Demikian semangat yang membara di hati para nelayan di pesisir Utara Pulau Garam, Madura.
Majang, atau turun ke laut untuk mencari ikan adalah mata pencaharian utama mereka. Sebagai nelayan, laut adalah ladang yang menjadi sumber kehidupan mereka bersama sekian keturunannya. Walau dengan piranti yang belum bisa dikata modern, tapi mereka tetap bisa eksis hingga kini.
Perahu, atau yang biasa mereka sebut dengan Paraoh, adalah tunggangan andalan mereka dalam memecahkan setiap tantangan di laut lepas. Dengan perahu-perahu khasnya, mereka mengais setiap ekor ikan yang terperangkap di sela jaring.
Perjalanan sepanjang lebih dari lima jam yang cukup melelahkan, akhirnya sampai juga Mossaik di sebuah lokasi tujuan liputan. Hari sudah jelang senja, walau sinar surya masih tersisa. Di ufuk barat perlahan matahari turun, seakan ingin menuntaskan tugasnya menerangi mereka yang beraktivitas di bibir pantai itu.
Yang menarik dari perjalanan Kami kali ini bukan pada aktivitas melaut para nelayan itu. Di antara puluhan perahu nelayan yang berjajar menunggu waktu untuk kembali turun ke laut, tampak kegiatan pembuatan perahu-perahu dengan bahan kayu.
Suara riak ombak tersapu angin yang menggiringinya ke hamparan pasir. Masih pula mewarnai kesibukan beberapa nelayan yang berbenah di perahunya. Sebagian lain sedang sibuk dengan alat-alat tradisional menyelesaikan sisa pekerjaan. Agar perahu yang dibuat segera beres.
Beberapa orang tampak sibuk di atas kerangka yang masih berwarna alami kayu jati. Dari pengamatan Mossaik terdapat empat perahu yang sedang dalam proses pembuatan dengan ukuran besar dan kecil. Tangan-tangan terampil mereka menari di atas papan-papan kayu itu.
Nirun, adalah satu di antara tukang pembuat perahu nelayan yang ada di Desa Pasongan, Kecamatan Pasongsongan, yang masih termasuk daerah Kabupaten Sumenep. Dibantu dua orang tukang perahu lainnya, ditambah lima orang pembantu tukang. Nirun sedang menyelesaikan sebuah perahu yang berukuran cukup besar.
Tidak hanya Nirun dan rekannya, di beberapa bagian yang lain di lokasi yang sama juga terlihat beberapa tukang pembuat perahu sedang menyelesaikan pekerjaan membuat perahu-perahu tradisional nelayan. Di kejauhan ada yang tampak sedang merangkai rangka utama perahu. Sementara di bagian lain sudah ada yang mulai memasang lembaran kayu untuk dek perahu-perahu.
Sebuah suasana yang khas kampung nelayan. Di saat hari beringsut senja, orang-orang di sana sudah banyak yang santai di depan rumah-rumah mereka. Untuk bisa mencapai lokasi pembuatan perahu Mossaik masih harus berjalan menyusuri jalan kampung. Setelah sebelumnya menempuh jarak sekitar 40 kilometer dari pusat kota Sumenep dengan bermobil.
Nirun yang sedang sibuk menata papan-papan kayu di atas perahu buatannya, menyambut ramah kedatangan Mossaik. Pertanyaan "Dari mana Pak?" berkali-kali muncul dari orang-orang yang berpapasan dengan kami. Termasuk dari rekan-rekan Nirun sendiri.

Ilmu Turunan
Obrolan bersama Nirun dan yang lain segera dimulai. Kami tidak mau kehilangan setiap detik tersisa senja itu. Terutama agar dari sisi visual kami bisa mendapatkan hasil yang optimal. Fotografer dan reporter pun segera menjalankan tugasnya masing-masing.
Ternyata Nirun tidak keberatan untuk meninggalkan pekerjaannya sejenak. Sekedar untuk menjawab setiap pertanyaan kami, yang harus kami lakukan dalam bahasa Madura. Dari kisahnya, di daerah tersebut memang banyak yang punya keahlian sebagai pembuat perahu.
Nirun sendiri menekuni pembuatan perahu tradisional itu sejak tahun 1997. Ilmu membuat perahu nelayan tradisional yang dimilikinya sekarang adalah hasil berguru pada tukang pembuat perahu pendahulunya. Kisahnya, semula dia hanya membantu para tukang di sana. Yaitu sebagai pembantu tukang dalam pembuatan perahu.
Setelah sekian lama, keahliannya mulai terasah. Maka dia pun pelan-pelan mulai mendapat pesanan sendiri untuk menggarap pembuatan perahu. Dalam pembuatan perahu walau dikerjakan oleh lebih dari satu tukang. Biasanya tetap ada satu orang tukang yang mengepalai dan bertanggung jawab penuh dalam proyek tersebut.
Selama ini, menurut Nirun, pemesan yang masih sering order padanya kebanyakan para juragan perahu asal daerah sekitar. Belakangan dia menyebutnya dengan panggilan Bos. Dari bos-bos itu yang kemudian memintanya untuk membuat perahu. Sekarang Nirun sudah bisa mandiri, dia mempunyai dua orang anak buah.
Menurutnya sebuah perahu biasanya dikerjakan oleh tiga orang tukang dan dibantu oleh empat sampai lima orang pembantu tukang. Dalam pembuatan perahu, kata Nirun, yang paling sulit adalah ketika membuat kerangka utama dari sebuah perahu. Atau yang biasa mereka sebut dengan aroan. Kisahnya, beberapa helai kayu yang digunakannya bahkan harus dibakar untuk mendapatkan lekuk seperti yang diharapkan.
Bahan kayu yang digunakan adalah kayu Jati. Gelondongan kayu jati harus dibelah menjadi lembaran demi lembaran, dengan ukuran tebal 4,5 hingga 5 sentimeter. Berikutnya dipilih yang kualitasnya benar-benar bagus.
Kayu-kayu jati itu sementara ini masih didatangkan dari beberapa daerah yang ada di Madura. Tapi, kata Nirun, beberapa yang lain juga ada yang mendatangkan dari Ponorogo. Bisa dibayangkan berapa banyak kayu yang dibutuhkan untuk membuat sebuah perahu. "Untuk satu unit perahu besar dengan ukuran panjang 14 meter dan lebar sekitar 5,10 meter, bisa menghabiskan kayu sebanyak 7 kubik," tutur bapak dua anak ini.

Tahap Demi Tahap
Membuat sebuah perahu ternyata tidak sesederhana yang kita bayangkan. Dalam pembuatan sebuah perahu sampai dengan benar-benar siap untuk turun ke laut bisa memakan waktu sekitar dua bulan. Dengan keahlian khusus dari tangan-tangan terampil itu tentunya.
Walaupun tidak ada standar dalam proses pembuatan, berdasar penuturan Nirun, dalam pembuatannya juga melalui beberapa tahap yang harus dilakukan secara runtut. Tahap-tahap pembuatan perahu tradisional tersebut biasanya dimulai dengan pembuatan rangka haluan dan buritannya. Mereka biasa menyebutnya dengan istilah lenggih.
Balok kayu itu direka hingga bentuknya agak melengkung, dengan ukuran yang juga dihitung berdasarkan insting para tukang-tukang terampil itu. Pada ujung lenggih tersebut berikutnya akan dibuatkan semacam sambungan kayu, perpanjangan kayu, lagi yang disebut dengan tajuk. Hingga bagian ini nantinya akan sangat menonjol pada bagian depan dan belakang sebuah perahu.
Tahap berikutnya adalah, mereka akan menggabungkan kedua lenggih tersebut dengan sebatang kerangka utama lain, yang juga berupa balok kayu. Bagian ini disebut mereka dengan istilah lonas. Tahap berikutnya adalah dengan membuat rangka-rangka yang lainnya, yaitu pada bagian lambung perahu (disebut dengan tapegan).
Setelah tahap ini selesai, akan dilanjutkan dengan memasang kayu-kayu untuk pelapis lambung kapal. Pada bagian ini biasanya terdiri dari lima lapisan, dan setiap helai kayu itu mempunyai istilah sendiri. Berurutan mulai dari bagian paling bawah namanya, pangapet, jantelo, jengempat, balutan, dekap. Setelah diatas bagian dekap tadi baru dipasang papan kecil, yang tidak terlalu lebar, yang mereka sebut dengan tabir.
Setelah sekian tahapan tersebut selesai, baru kemudian dilanjutkan dengan pemasangan papan-papan kayu untuk dek. Setiap pekerjaan dilakukan dengan cermat dan teliti. Para tukang ini tidak membiarkan setiap lubang yang ada di tiap helai papan kayu itu.
Pada tiap sambungan papan menggunakan lem sebagai perekat. Lem yang digunakan adalah sampuran lem kayu dan semen, kadang ditambah serbuk gergajian kayu. Sedangkan bila pada permukaan kayu terdapat lubang-lubang kecil, yang tidak terlalu parah, biasanya akan ditutup dengan dempul. Barulah kemudian akan dilapisi dengan cat.
Untuk menggabungkan antar bagian dari perahu, beberapa disambung dengan menggunakan paku. Paku-paku ini sengaja dipesan, dengan ukuran dan bahan yang khusus dari baja. Tapi untuk perahu-perahu yang berukuran kecil, tidak menggunakan paku tersebut pada semua bagiannya. Beberapa bagian ada yang menggunakan pasak kayu.
Untuk mendapatkan bentuk tertentu dari kayu, adalah dengan cara di bakar. Pembakaran untuk satu lembar kayu bisa memakan waktu dua sampai tiga hari. Nirun bersama rekan-rekannya setiap hari mulai melakukan pekerjaannya itu mulai jam tujuh pagi hingga jam lima sore.
Berbeda bila mereka harus melakukan pembakaran. Karena kebiasaan mereka, pembakaran dilakukan pada malam hari. Maka setiap kali melakukan pembakaran kayu-kayu itu mereka baru pulang ke rumah sekitar jam sembilan malam.
Pengecatan merupakan tahap terakhir setelah semua bagian selesai dikerjakan. Yaitu setelah setiap bagiannya sudah tampak halus. Sebelum dicat dengan warna yang diinginkan, permukaan kayu itu harus dilapisi dengan cat dasar (meni). Hal itu juga berguna untuk menutup pori-pori kayu. Selain untuk menghindari kebocoran, juga untuk menghemat cat.
Setelah proses pengecatan selesai, beberapa bagian perahu lainnya pun dipasang. Seperti tiang, rumah-rumahan, mesin pendorong hingga derek penarik jaring. Setelah semua lengkap, berarti perahu ini sudah siap turun ke laut.
Dalam proses penggarapan, perkembangan jaman ternyata membawa kemajuan. Sekarang sudah mulai menggunakan peralatan modern. Seperti katrol dan rantai, alat bor mesin, hingga penghalus permukaan kayu yang juga menggunakan mesin bertenaga listrik.
Kisah Nirun, sekarang sudah lebih maju dibandingkan dulu. Dia mencontohkan kalau dulu untuk ngebor saja masih menggunakan tenaga otot dengan bor manual. Tapi sekarang pekerjaan mengebor kayu bukan hal sulit. "Tapi itu semua tergantung uangnya, kalau ada uang pekerjaan tukang akan bisa lebih mudah," tukasnya lagi.
Kabarnya dalam rangkain pembuatan perahu-perahu tersebut juga tidak lepas dari beberapa ritual khusus, semacam selamatan. Seperti menetapkan jam dan hari ketika akan memulai pembuatan, kapan kerangka perahu harus mulai digabungkan satu sama lain. Bahkan ketika perahu telah seratus persen selesai, pula harus dilakukan semacam selamatan khusus.
Begitu pula harus ditentukan secara pasti kapan pertama kali perahu itu akan di turunkan ke laut. Semua ritual tersebut dilakukan berdasarkan advise dari para sesepuh, serta para kyai dan ulama setempat yang sengaja diminta oleh sang empunya perahu.
Kata Nirun, ritual-ritual demikian akan sangat berkaitan dengan kelangsungan perahu itu sendiri kelak, kala sudah waktunya menjalankan tugasnya di laut. Konon kalau semua perhitungan dan pelaksanaan ritual itu tepat, akan membawa keberuntungan yang besar bagi perahu tersebut. Salah satu dampaknya adalah kesuksesan dalam mendulang hasil panen ikan.

Ratusan Juta
Perahu tidak sekedar perahu, perahu-perahu itu bisa menjadi harapan hidup dari sekian banyak orang. Bisa dibayangkan, ketika sebuah perahu berlayar berapa orang yang turut di dalamnya. Berapa harapan yang harus dipikul oleh masing-masing orang tersebut. Yang semuanya sangat mengandalkan hasil tangkapan ikan.
Begitu banyak perahu yang ada di lokasi tersebut, mulai perahu besar yang mempunyai panjang hingga 15 meter sampai dengan yang kecil, dengan panjang hanya 10-12 meter. Kesemuanya rata-rata adalah buatan dari para tukang perahu setempat.
Di daerah Pasongsongan itu memang terdapat banyak tukang perahu. Kalau mereka tidak membuat di daerahnya sendiri, biasanya diundang untuk membuat perahu ke daerah lain, di dekat-dekat sana seperti ke Slopeng dan lainnya.
Ongkos untuk seorang tukang perahu tidak bisa dibilang main-main. Untuk seorang tukang akan mendapat bayaran biasanya sekitar Rp 13,5 juta rupiah, untuk garapan satu unit perahu. Ini menjadi sangat lumrah, karena harga perahu itu sendiri juga sangat mahal.
Betapa pekerjaan membuat perahu itu, sekarang sudah bisa menjadi mata pencaharian tetap. Walaupun itu juga tergantung pada ada-tidaknya pesanan. Bagi Nirun kalau lagi tidak ada pesanan, maka dia akan kembali ikut melaut.
Untuk perahunya saja dengan ukuran besar, harga jualnya bisa mencapai Rp 120 juta. Tetapi kalau lengkap dengan perlengkapan motor pendorong dan piranti yang lainnya, harganya bisa mencapai Rp 250 juta.
Sampai sekarang selalu ada saja orang yang memesan untuk membuat perahu. Kata Nirun, "Saat ini yang memesan untuk dibuatkan perahu masih terbatas dari daerah-daerah di sekitar Sumenep saja." Tapi dia juga bangga, karena setelah garapannya ini selesai, sudah menunggu lagi pesanan pembuatan untuk dua perahu yang lain.
Perahu yang sedang dikerjakan Nirun kali ini, diperkirakan mampu menampung sekitar 10 ton ikan hasil tangkapan. Kebanyakan perahu yang dibuatnya memang perahu yang akan digunakan khusus untuk menangkap ikan, istilah setempat adalah majang.
Perahu dengan ukuran besar, panjang 14 meter ke atas, bisa memuat awak sebanyak 20-25 orang. Tetapi kalau perahu kecil yang ukurannya sekitar 10-12, paling banyak bisa dinaiki lima hingga tujuh orang. Jumlah awak ini juga disesuaikan dengan daya muat hasil tangkapannya.
Menilik usia perahu, biasanya bertahan selama lima tahun itu sudah cukup bagus. Walau demikian ada pula beberapa perahu yang usianya lebih dari itu. Namun, kata Nirun, kalau usianya sudah terlalu tua akan banyak membutuhkan perbaikan. Atau mungkin pula akan berpengaruh pada produktivitasnya dalam mendukung penangkapan ikan.
Yang paling khas dan bisa menjadi identitas yang membedakan perahu buatan daerah Pasongsongan itu dengan daerah lain adalah pada bagian rumah-rumahan di bagian buritan perahu. Mereka menyebutnya dengan jang-anjang. Dengan hiasan yang khas, baik ukiran pada beberapa bagiannya, hiasan lukisan hingga pilihan warnanya yang sangat menarik.
Memperhatikan sekian banyak perahu yang ada di lokasi tersebut, sempat hati merasa takjub. Inilah karya-karya mereka yang notabene tidak pernah mengenyam pendidikan ilmu perkapalan. Tapi toh mereka mampu mereka cipta perahu yang bisa diandalkan.
Para pembuat perahu nelayan ini tetap bertahan di antara hempasan ombak Laut Jawa dan gempuran industri pembuatan kapal-kapal penangkap ikan modern. Keras telapak tangan para pembuat perahu itu, mungkin tak seberapa dibandingkan keras semangat di hati mereka untuk teguh menjaga tradisi dan kemampuan alami mereka.-az alim

Dimuat di Majalah Mossaik, Agustus 2005

Label:

posted by Alim @ Senin, Oktober 01, 2007  
0 Comments:
Posting Komentar
<< Home
 
About Me

Name: Alim
Home: Surabaya, Jawa Timur, Indonesia
E-mail: parama.j@gmail.com
See my complete profile
Previous Post
Archives
Links
Template by

Free Blogger Templates

BLOGGER