Pusakanesia

Pusaka Negeri Untuk Berbakti

 
Aku
Hanya orang biasa yang suka memandangi keindahan masa kini. Aku suka menikmati indahnya masa silam pada bentuk yang masih tersisa. Aku hanya ALIM yang ingin berbagi apa yang pernah aku baca, aku lihat, dan aku dengar. Aku hanya ALIM yang ingin bersama-sama menjaga kenangan sejarah yang masih tersisa.
Aksi
Asa
Menapak kembali jalanan hidup. Walau kerikil khilaf dan salah menghadang, tetap harus kita tatap. Setelah sebulan kita berusaha membasuh jiwa, agar di 1 Syawal bisa kembali ke fitrah. Mari saling buka hati untuk menebar maaf. Melanglang hari baru dengan jiwa bersih dan tujuan mulia, menjadi hamba dengan ridho Ilahi. Amin!
Aktif

Free shoutbox @ ShoutMix
Hit
free hit counters
Malang Lama
11 September 2007
Ikon Terakhir Kota Malang
ALUN-ALUN BUNDER

Kawasan di sekitar gedung Balaikota Malang sudah tiga kali berganti nama, hingga akhirnya dikenal dengan Alun-alun Tugu.

Pada jaman India-Belanda, area taman yang tampak cantik dengan aneka lampu hias di malam hari itu disebut J.P. Coenplein (Taman J.P. Coen, Red). Kemudian pada masa itu pula, masyarakat lokal lebih mengenal dengan sebutan Alun-alun Bunder, karena semula memang merupakan kawasan terbuka yang berbentuk bundar. Dan terakhir habis perang kemerdekaan, setelah dibangun monumen atau tugu sebagai simbol perjuangan lalu disebut Alun-alun Tugu.
Kota Malang menjadi berbeda dengan daerah lain yang pusat pemerintahannya (Kabupaten dan Kabupaten Kota) letaknya berhimpit. Perbedaannya, di Malang mempunyai dua alun-alun, yang biasanya menjadi ciri utama di tiap daerah. Sebab itu pula, di Malang kemudian ada istilah Alun-alun Kembar. Jarak kedua alun-alun tersebut pun tak lebih dari 500 meter. Keduanya dipisahkan oleh aliran Sungai Brantas.
Sekilas penataan kawasan di daerah ini integratif, ini tapak dari tahapan-tahapan pengembangannya. Seperti halnya pengembangan kawasan alun-alun tugu ini. Di masa India-Belanda area ini disebut dengan Kawasan Gubernur Jenderal (Gouverneur General Buurt). Alasannya, di masa itu nama-nama yang dipakai sebagai penanda jalan dan yang lainnya adalah nama-nama gebernur jenderal Belanda yang pernah memimpin di tanah air.
Tata kota Malang pada mulanya berbentuk pita (Band), membujur Utara-Selatan yang menghubungkan antara alun-alun kota lama dengan jalur menuju Surabaya. Kemudian atas sentuhan Thomas Karsten, seorang planolog kebangsaan Belanda, dicoba dikembangkan ke arah Timur-Barat. Karsten ini konon turut berjasa dalam perancangan kota di beberapa daerah seperti Jogja, Bandung, dan Semarang. Salah satu dan yang terakhir keterlibatannya dalam penataan kota adalah di Malang.
Perkembangan kota yang berbentuk linier ini oleh Karsten dianggap kurang menguntungkan, terutama dalam hal distribusi. Pertama yang dikembangkannya adalah dari daerah Claket ke arah Rampal. Kemudian yang kedua adalah kawasan gouveneur general buurt itu, di sekitar alun-alun bunder. Pengembangan kawasan kedua ini terhalang oleh Sungai Brantas. Oleh sebab itu kemudian dibangun jembatan, yang sekarang berada di Jalan A. Yani.
Pembangunan jembatan ini mengemban maksud untuk menghubungkan akses alun-alun bunder dengan jalur utama di daerah Kayu Tangan. Hingga kemudian terbentuk persimpangan, yang sangat dikenal dengan Perempatan Raja Bali. Kemudian untuk menghubungkan dua kawasan, alun-alun kota lama dan kawasan alun-alun bunder agar lebih dekat, dibangun lagi jembatan yang di Jalan Majapahit. Di awal, jalur penghubung ini dikonsepkan sebagai boulevard, karena itu jembatan yang dibuat juga didesain dengan indah.
"Jelas sekali, walaupun ada barrier alam justru dimanfaatkan Karsten mengembangkan kawasan yang semula terisolir ini," papar M. Dwi Cahyono, sejarawan Malang. Pertanyaannya kemudian, mengapa kawasan ini dikembangkan. Hal ini juga terkait dengan pengembangan bidang administrasi pemerintahan. Sejak tahun 1914, ada perkembangan di bidang pemerintahan di daerah ini. Sebelum tahun itu, Malang masih berupa Kadipaten. Dimana pusat pemerintahannya di kawasan alun-alun lama. Di sana tampak Pendopo Kadipaten yang persis berada di sebelah Timur alun-alun.
Pada tahun 1914, Malang juga mendapat status sebagai Kota Praja (Gemeente), sekarang dikenal dengan Kotamadya. Kondisi ini menuntut sebuah pusat pemerintahan tersendiri, maka dipilih lah kawasan J.P. Coen. Sebab itu pula kemudian didirikan gedung balai kota yang berhadapan dengan alun-alun bunder itu.
Pengembangan kawasan ini sebenarnya rancangannya sudah disetujui sejak tahun 1920. Dan realisasi pembangunan gedung balai kota dimulai dua tahun kemudian. Menurut Dwi Cahyono, jalannya roda pemerintahan Kota Praja Malang sebelumnya pernah menggunakan gedung lain sebelum menempati gedung balai kota yang sekarang. Sayang, tidak ada informasi lengkap di mana lokasi persisnya balai kota sementara itu.
Pengembangan kawasan di Malang dinilai menunjukkan kepiawaian Karsten dalam menata kota. Apa yang dilakukannya berdasarkan konsep yang matang dan terencana. Tahap demi tahap yang dilakukan tidak terpisah, tetapi terintegrasi sebagai sebuah jaringan.

Sentrum
Alun-alun bunder pada masa lampau sempat menjadi titik pusat yang kemudian dihubungkan dengan jalan ke arah empat penjuru mata angin di Kota Malang. Di awal keberadaannya titik sentrum ini merupakan lapangan terbuka. Hal ini berbeda dengan kondisinya sekarang, titik pusat itu terlindung di balik pagar. "Harus diakui bahwa pembangunan pagar itu lepas dari konsep semula," sergah Dwi pada Mossaik.
Konon, ada pihak yang keberatan dengan pemagaran itu, karena akan menghilangkan konsep awalnya terutama dari sisi historisnya. Namun hal ini harus dilakukan demi melindungi tanaman dan keindahan penataan di sekeliling monumen Tugu. Ini merupakan perbedaan pertama.
Kedua, tepat di tengah-tengah alun-alun kini muncul tugu. Padahal semula di tengah-tengah hanya ada kolam dengan air mancur. Kabarnya tugu ini terkait dengan sejarah mempertahankan kemerdekaan. Pada antara tahun 1947-1948, alun-alun ini menjadi saksi sejarah, sebagai medan pertempuran. Sebab itu pula maka didirikan monumen Tugu Perjuangan.
Tugu itu sendiri dibangun pada tahun 1945, walau masih dalam bentuk pondasi kemudian sempat dihancurkan oleh Belanda. Pada tahun 1952, pembangunan tugu ini kembali dilanjutkan. Peresmiannya dilakukan oleh Presiden Pertama RI, Ir. Soekarno, pada 20 Mei 1953.
Nama alun-alun tugu muncul setelah masa kemerdekaan RI. Alun-alun bunder juga merupakan salah satu tempat yang dipilih oleh Soekarno, Presiden pertama RI, untuk menyampaikan pidato kenegaraannya, setelah masa proklamasi. Alun-alun masih terbuka, demikian halnya gedung balai kota tanpa pagar. "View-nya, minus pertimbangan-pertimbangan keamanan, sebenarnya lebih cantik ketika tanpa pagar," Tutur dosen sejarah di Universitas Negeri Malang ini.
Gagasan untuk membuat alun-alun kembar yang diterapkan Thomas Karsten bisa jadi terinspirasi dari dua taman yang ada di Amsterdam, Belanda. Ini kemudian coba ditiru, dan ternyata di Malang juga memungkinkan. Maka jadilah dua kawasan dengan dua alun-alun yang letaknya berdekatan.
Bagian lain dari kawasan ini merupakan komponen yang terencana satu sama lain. Selain bangunan balai kota (Gemeentehuis) di sekitar alun-alun tugu juga terdapat bangunan yang juga berperan dalam catatan sejarah di masanya. Seperti gedung sekolah HBS/AMS, rumah kediaman di masa kolonial, Hotel Splendid (sekarang jadi Wisma IKIP Negeri Malang), dan Kantor Dinas Topografi, serta bangunan villa lainnya.
Dulu AMS ini merupakan sekolah negeri, kemudian setelah masa kemerdekaan berubah nama menjadi SMA Alun-alun Bunder. Dalam perkembangannya sekarang, sekolah ini dipecah menjadi tiga SMU Negeri (1, 3, dan 4). Gedung sekolah yang ada di sana, kabarnya pada masa pendudukan Jepang sempat dijadikan tangsi militer. Sekolah ini sempat mengalami tiga kali alih fungsi, dari gedung sekolah, lalu menjadi tangsi militer, kemudian berubah lagi menjadi sekolah.
Di sebelah Utara dan Barat, berdiri gedung militer yang tegak hingga sekarang. Gedung tersebut milik Kodam V Brawijaya. Dengan demikian semakin lengkap, kawasan alun-alun bunder ini sebagai pusat pemerintahan, pusat pendidikan, pusat militer, dan pusat transportasi pada masa itu. Pusat transportasi yang dimaksud adalah dibangunnya stasiun kereta api yang berada di sebelah timur.
Di Malang, sebenarnya jauh sebelumnya sudah ada stasiun kereta api. Letaknya di kota lama, agak ke selatan kota Malang sekarang. Namun, kemudian Karsten membuat terobosan dengan mendirikan kembali Stasiun Kota Baru yang letaknya relatif lebih dekat dengan pusat Kota Praja.
Cukup sudah alasan, untuk kemudian menyebutkan bahwa kawasan ini menjadi komplek yang penting. Hingga kini kawasan ini tetap menjadi titik sentrum bagi kota malang. "Hanya saja, kini pemilahan antara pusat pemerintahan Kota dan Kabupaten sudah kurang jelas seperti dulu," ujar Dwi. Terlebih ketika pemerintah kabupaten tidak lagi memfungsikan alun-alun lama sebagai bagian dari pusatnya. Sehingga kesan yang muncul kini pemerintah kabupaten itu seperti numpang saja di wilayah Kota Malang.
Lalu, kawasan alun-alun lama kini terasa sudah tidak lagi sebagai pusat pemerintahan kabupaten. Tetapi lebih sebagai pusat bisnis, yaitu dengan tumbuhnya beberapa pusat perbelanjaan di sekitarnya. Bahkan, pendoponya pun terkesan makin tersingkir keluar kawasan alun-alun lama.
Sekarang, yang masih menjadi maskot atau ikon keindahan kota Malang adalah di kawasan alun-alun bunder. "Sehingga bila ini kemudian hilang, makan ikon malang akan habis," pungkas Dwi. Menurutnya, kini malang tinggal memiliki dua kawasan yang bisa menjadi ikon keindahan tempo dulu. Kawasan Alun-alun Tugu dan kawasan Ijen, selanjutnya tinggal bagaimana masyarakat dan pemerintah setempat menjaganya. Bila kelak keduanya lenyap, maka lenyap sudah pusaka masa lalunya.-az alim

*Dimuat di Majalah Mossaik, Edisi April 2006

Label:

posted by Alim @ Selasa, September 11, 2007  
0 Comments:
Posting Komentar
<< Home
 
About Me

Name: Alim
Home: Surabaya, Jawa Timur, Indonesia
E-mail: parama.j@gmail.com
See my complete profile
Previous Post
Archives
Links
Template by

Free Blogger Templates

BLOGGER