Pusakanesia

Pusaka Negeri Untuk Berbakti

 
Aku
Hanya orang biasa yang suka memandangi keindahan masa kini. Aku suka menikmati indahnya masa silam pada bentuk yang masih tersisa. Aku hanya ALIM yang ingin berbagi apa yang pernah aku baca, aku lihat, dan aku dengar. Aku hanya ALIM yang ingin bersama-sama menjaga kenangan sejarah yang masih tersisa.
Aksi
Asa
Menapak kembali jalanan hidup. Walau kerikil khilaf dan salah menghadang, tetap harus kita tatap. Setelah sebulan kita berusaha membasuh jiwa, agar di 1 Syawal bisa kembali ke fitrah. Mari saling buka hati untuk menebar maaf. Melanglang hari baru dengan jiwa bersih dan tujuan mulia, menjadi hamba dengan ridho Ilahi. Amin!
Aktif

Free shoutbox @ ShoutMix
Hit
free hit counters
Surabaya Lama
10 November 2007
Tunjungan Melintas Angan

Sejarah panjang tergores dalam catatan perjuangan Arek Suroboyo. Hanya beberapa bangunan dan kawasan yang menyisakan cerita. Sekitar Tunjungan satu di antaranya.

Kawasan Tunjungan tercatat mempunyai daya tarik sejak jaman dulu. Mulai dari era Adipati hingga jaman pemerintahan masa kini di Surabaya. Dari sekedar taman, area pertama untuk menerima tamu raja yang berasal dari pedalaman. Hingga kini menjadi pusat bisnis paling ramai di Kota Pahlawan ini.
Mengurai kisah tentang Tunjungan akan begitu panjang. Namun daya tariknya tak dapat menahan Eastjava Traveler (EJT) untuk memaparkannya walau dalam beberapa lembar halaman saja. Setidaknya ada sedikit keinginan untuk memperkaya wawasan dan pengetahuan tentang kekayaan masa lalu Surabaya.
Menurut Berita Cina (1409), wilayah Surabaya sudah berkembang setidaknya seperti Gresik, yaitu dihuni oleh sekitar 1.000 kepala keluarga Cina. "Letaknya menurut topografi lama di sekitar Jalan Panggung, sementara pelabuhannya adalah di Petekan," urai Prof. Aminuddin Kasdi, Guru Besar FIS, Jurusan Pendidikan Sejarah, Universitas Negeri Surabaya. Demikian anggota Masyarakat Sejarawan Surabaya ini mengawali penjelasannya tentang Surabaya.
Kabarnya, dalam perkembangan kemudian mereka menyeberang ke Kembang Jepun, terus ke arah Jalan Karet hingga ke Peneleh. Penggalan kisah tersebut adalah di masa turunnya bangsa Cina di Surabaya. Lalu dalam perjalanannya, Surabaya muncul sebagai Kerajaan Kadipaten, pusatnya di Kampung Keraton.
Mulai pertengahan pertama abad 17, Surabaya menjadi koloni Mataram. Dalam upaya menyelesaikan balas budi atas bantuan VOC (Vereenidge Oost Indische Compani) terhadap Mataram, akhirnya Raja Mataram menyepakati beberapa perjanjian dengan VOC. Dalam perjanjian itu salah satunya berisi penyerahan wilayah Surabaya kepada VOC.
Setelah mendapat wilayah yang sangat strategis, maka VOC tak menyia-nyiakan waktu untuk segera membangun wilayah ini. Kemudian mereka mendirikan kota sebagai pusat aktivitasnya, yaitu di sekitar Jembatan Merah. VOC ternyata cukup pintar, dengan memperhatikan kondisi alam di sana, mereka membangun kota yang cukup aman. Kemudian lebih dikenal dengan sebutan Kota Benteng, yaitu kota dengan dikelilingi sungai atau parit.
Sementara batas-batas kota itu meliputi, perbatasan sebelah timur adalah Sungai Brantas, sebelah selatan adalah parit, yang sekarang menjadi jalan Indrapura. Terus berbelok ke Utara hingga akhirnya sampai pada pertemuan sungai utara di Kali Mas. Sekarang masih ada bangunan-bangunan lama yang tersisa dari masa itu. Seperti gedung Internatio, gereja Frateran, dan beberapa bangunan lain di sekitarnya termasuk penjara Kalisosok. Itulah sekilas kemunculan kota Surabaya, yang kemudian menjadi ibukota sekaligus pusat aktivitas dagang VOC.

Tunjungan Lama

Merunut perkembangan kawasan Tunjungan, tidak bisa lepas dari sejarah munculnya Surabaya. Walaupun nama Tunjungan sudah disebut-sebut sejak jaman Kadipaten Surabaya, tapi baru menunjukkan perkembangannya setelah masa pendudukan VOC. Semakin menjadi jalur utama kota ketika kota ini diduduki sekutu.

Di jaman penguasaan VOC, Surabaya kian hari terus tumbuh, pengembangan wilayah kota tak bisa dihindari. Salah satu yang tampak pasti adalah kebutuhan para penguasa jaman itu untuk mendapatkan lokasi kediaman lain di luar kawasan kota.
Pada tahun 1795 penguasa VOC, Dirk van Hogendorp, membuat tempat kediaman baru rumah taman (tuinhuis) di selatan kota Benteng tadi, yang sekarang menjadi Grahadi. Disebabkan pusat aktivitas VOC masih di sekitar Jembatan Merah, maka tak heran bila tiap hari dia harus pulang pergi dari Jembatan Merah ke rumah tinggalnya yang di kawasan Simpang itu. Rumah ini kemudian berubah menjadi rumah residen (residentswoning)
Jalur yang dilewati penguasa ini dari rumah ke kawasan ibukota itu melalui kawasan Tunjungan, ini berlangsung hingga tahun 1800. Yang kemudian tercatat sebagai akhir dan masa keruntuhan VOC, lalu diambil alih Hindia-Belanda.
Tunjungan di masa itu masih belum ramai. "Setelah masa tanam paksa (cultuur stelsel) kemudian masuk era tanam bebas. Sehingga banyak kaum kapitalis yang masuk dan menanam investasi di Jawa Timur, itu sekitar tahun 1870," papar Aminuddin pada EJT saat dijumpai di rumahnya.
Dengan perkembangan imperialisme modern khususnya di bidang ekonomi, sekitar tahun 1873 dibangun pelabuhan tanjung perak, setelah siap kemudian dilanjutkan pengembangan Surabaya itu dengan dibuat jalur kereta api.
"Pada tahun 1878 dibuka jalur sepur pertama di Surabaya, dari Stasiun Semut ke Pasuruan. Kemudian jalur berikutnya dari Semut ke Perak," tambahnya. Dengan perkembangan itu Surabaya mulai menjadi kota besar.
Sekitar tahun 1921, pada masa jabatan Walikota Surabaya yang kedua, G.J. Dijkerman, rencana membangun gedung Balai Kota diwujudkan. Gedung utama Balai Kota di Taman Surya, Ketabang, itu selesai dibangun pada tahun 1923, dan baru ditempati sekitar tahun 1927. Arsitek yang mendesain bangunan yang hingga kini masih kokoh berdiri itu adalah C. Citroen. Maka jadilah Surabaya sejak itu menjadi kota dengan pusat pemerintahan di Balaikota, kawasan perumahan mewah di Darmo, pusat pabrik di jalan Niaga.
Seiring perkembangan Surabaya itu, kawasan tunjungan pun kian mekar. Tunjungan setelah menjadi jalur yang dilewati bangsawan VOC, lambat laun berubah menjadi jalan protokol. Pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20 Surabaya menjadi Kota Dagang dan Industri terbesar. Terlebih didukung kondisi politik lebih terbuka, maka berangsur Surabaya kian berkembang. Dan kawasan tunjungan pun makin ramai.
"Di sepanjang jalan protokol itu mulai bermunculan toko-toko mesin, diesel ada di sana, tepatnya di sebelah selatan hotel Mojopahit sekarang. Yang terbesar adalah toko Metro. Hotel Mojopahit baru dibangun pada tahun 1905. Bangunan hotel itu desainnya masih terbuka, belum ada bangunan di depannya," urai Aminuddin lagi. Kemudian di sekitar sana juga dibangun gedung Whiteway, yang merupakan gedung bisnis. Bangunan itu kemudian dikenal dengan nama Toko Nam, sayang kini hanya tinggal puing-puingnya saja.
Salah satu bangunan tertua di sekitar Tunjungan adalah yang sekarang SMP 3 atau SMP Praban. "Bangunan itu diduga semula merupakan gudang milik seorang pemilik modal besar, Han Tie Ko. Rumahnya kira-kira di jalan Blauran 57, juga sempat dipakai sebagai asrama mahasiswa Unair. Kemudian paviliunnya diduga kira-kira sekarang menjadi bangunan di jalan Embong Malang 60. Elemen bagunan, seperti pintu, kusen, engsel, dan lainnya di SMP Praban itu relatif sama dengan yang ada di SD Kaliasin," urainya panjang.
Bangunan lama lainnya adalah gedung Balai Persahabatan, yang dibangun oleh seorang berkebangsaan Jerman, yang sekarang menjadi kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN). Konon Dibangun sekitar 1820 -an. Konon di jaman perjuangan kemerdekaan sempat pula menjadi markas Palang Merah Internasional (International Red Cross Committee).

Tunjungan Kini

Data tentang wilayah Surabaya sampai dengan tahun 60 -an, batas selatan adalah sampai Wonokromo, utara sampai Sidotopo. Sisi paling baratnya adalah Pasar Turi, sementara timur hingga batas rel kereta api di Jagir Wonokromo.

Perkembangan Tunjungan konon juga didukung oleh hinterland Surabaya. Sehingga menjadikan kawasan Tunjungan sebagai CBD (Central Business District) pada masa itu. Selain itu juga didukung dengan kemampuan Surabaya untuk berkembang menjadi kota industri secara besar-besaran.
Untuk ukuran tahun di rentang 1900-1950 di Indonesia belum ada kota yang mempunyai pabrik sebanyak di Surabaya. Di antaranya karena faktor-faktor menguntungkan yang dimiliki Surabaya seperti sarana kereta api, aliran sungai untuk supplai air dan sebagainya.
Pernah ada catatan yang menyebutkan di sepanjang kawasan Tunjungan terdapat sekitar 126 toko. Di kawasan Tunjungan juga terdapat Toko Nam, yang dulu merupakan gedung pusat bisnis. "Sekarang yang tersisa hanya puing-puingnya, namun demikian juga ditetapkan sebagai cagar budaya. Kabarnya, karena masih termasuk kawasan Hotel Orange. Jadi Hotel Orange itu mempunyai arti karena adanya Toko Nam dan Toko Metro," jelasnya.
Gedung Perjuangan Pers, sekarang menjadi gedung salah satu merek jam tangan, walau bangunannya tidak terlalu tua kemudian bernilai historis karena di tahun 1945 terutama ketika terjadi insiden perobekan bendera, gedung tersebut ditempati sebagai kantor wartawan, dan Bung Tomo termasuk di dalamnya.
Kini di sepanjang jalan Tunjungan sudah dijadikan kawasan cagar budaya, karena relatif bangunan yang ada di sana berusia cukup tua, minimal lebih dari 50 tahun. Bangunan-bangunan seperti yang sekarang ditempati beberapa bank dan kantor asuransi, hingga kini masih menunjukkan pesonanya.
Sisi sebelah timur di jalan Tunjungan tampak lebih kental nuansa historisnya, di bandingkan dengan yang di sebelah Barat. "Sebenarnya sama saja, dulu di sisi barat itu juga ada bangunan toko Lawanie, BPN, dan Ged. ALBA. Selain juga ada sebuah showroom bernama Lavrie, milik orang Perancis," terang Aminuddin yang juga anggota tim Pertimbangan Cagar Budaya Pemkot Surabaya itu.
Tidak ada yang tidak kenal Tunjungan kini, jalur protokol yang cukup ramai dan cenderung padat pada jam-jam tertentu. Walau lalu-lintasnya padat, tapi entah dengan bisnis yang hidup di sekitarnya. Yang penting, harus ada upaya untuk menjadikan kawasan Tunjungan lebih hidup. Kawasan Tunjungan harus mempunyai magnet untuk mampu menarik orang untuk datang ke sana. Setidaknya untuk sedikit membawa angan, menikmati aura masa silam dalam bingkai bangunan cagar budaya yang tersisa.-az.alim


*Dimuat di Majalah Traveler, Edisi Nopember 2007

Label:

posted by Alim @ Sabtu, November 10, 2007  
1 Comments:
Posting Komentar
<< Home
 
About Me

Name: Alim
Home: Surabaya, Jawa Timur, Indonesia
E-mail: parama.j@gmail.com
See my complete profile
Previous Post
Archives
Links
Template by

Free Blogger Templates

BLOGGER