Pusakanesia

Pusaka Negeri Untuk Berbakti

 
Aku
Hanya orang biasa yang suka memandangi keindahan masa kini. Aku suka menikmati indahnya masa silam pada bentuk yang masih tersisa. Aku hanya ALIM yang ingin berbagi apa yang pernah aku baca, aku lihat, dan aku dengar. Aku hanya ALIM yang ingin bersama-sama menjaga kenangan sejarah yang masih tersisa.
Aksi
Asa
Menapak kembali jalanan hidup. Walau kerikil khilaf dan salah menghadang, tetap harus kita tatap. Setelah sebulan kita berusaha membasuh jiwa, agar di 1 Syawal bisa kembali ke fitrah. Mari saling buka hati untuk menebar maaf. Melanglang hari baru dengan jiwa bersih dan tujuan mulia, menjadi hamba dengan ridho Ilahi. Amin!
Aktif

Free shoutbox @ ShoutMix
Hit
free hit counters
Mojokerto Lama
11 Maret 2008
125 tahun Membingkai Harmoni
Gereja pertama di Jawa Timur ini usianya lebih dari satu abab. Masih tegar mengayomi harmonisasi jemaatnya.

Menyusuri sepanjang jalan Merdeka, Mojowarno, tepat di depan sebuah fasilitas kesehatan, terdapat sebuah bangunan yang sangat berbeda dengan bangunan lain di sekitarnya. Menghadap ke Timur, di situlah Gereja Kristen Jawi Wetan berdiri. Warna putih mendominasi fisik bangunan, terdapat beberapa tulisan dengan huruf Jawa berwarna hitam yang kontras menjadi aksen yang menarik perhatian.
Pada bagian depan gedung, tepat di atas teras depan, terdapat tulisan Jawa yang berbunyi "Duh Gusti Ingkang Kawulo Purugi Sinten Malih. Paduko Kagungan Pangandikanipun Gesang Langgeng. Yokanan, bab 6, ayat 6:68. Marganing Slamet Rahing Pamenthangan." Sedangkan pada gapura gerbang gereja, juga terdapat tulisan yang merupakan Condrosengkolo (hitungan cara Jawa dengan kata-kata) "Gunaning Panembah Trusing Tunggal."
GKJW Mojowarno tetap berdiri tegar melintasi perjalanan waktu. Dengan gaya arsitekturalnya yang khas, gereja ini tanpa terasa telah lebih dari seratus tahun memayungi dan menjadi fasilitas penting bagi para jemaatnya.
Madoedari, 75 tahun, sumber Eastjava Traveler (EJT), mengaku walau sudah bermukim di Mojowarno sejak tahun 1942, tapi dia bukan pelaku pendirian gereja itu. Menurutnya masa itu masih pada jaman kakek dan neneknya. Madoedari sendiri mengetahui sejarah tentang gereja itu dari lembar demi lembar goresan pena. Ternyata setiap kejadian dimasa itu telah dicatat oleh kakek-neneknya, walaupun dengan menggunakan bahasa Belanda. Dan dia hanya mampu membaca dan menuturkannya kembali rangkaian sejarah itu.
Pembangunan gedung gereja ini, konon pada jaman penjajahan Kolonial Belanda. Ditegaskan oleh Madoedari, pendirian gereja tersebut sama sekali tidak berlatar belakang dorongan atau desakan dari pihak manapun. Tetapi berdirinya memang benar merupakan keinginan dan kerinduan dari masyarakat lokal pada masa itu. Nenek moyang mereka yang sudah memeluk agama Kristen, dan sangat menginginkan memiliki tempat ibadah yang layak.
Babat alas di Mojowarno sendiri yang diperkirakan dilakukan sekitar tahun 1844. "Sejak awal adanya desa, tempat ibadah yang ada masih berupa gubuk," kisah Madoedari pada EJT, ketika ditemui di kediamannya.
Mulai dari bertiang bambu beratap daun, "Daun yang digunakan adalah daun kengkeng atau daun sejenis rotan," ungkapnya. Hingga dalam bentuknya yang sekarang, menurutnya, sudah tujuh kali mengalami perombakan bentuk.
Sejalan perputaran waktu ternyata jemaat makin banyak dan membutuhkan tempat ibadah yang lebih representatif. Semua berpikir untuk mendapatkan ide, bagaimana merealisasikan kebutuhan mereka. Mulai dari pemimpin agama, tokoh masyarakat, hingga masyarakat biasa mencoba menemukan jalan keluar.
Prakarsa pendirian gereja ini muncul dari seorang pemimpin gereja pada masa itu, namanya Paulus Tosari. Ide itu kemudian dilanjutkan dengan memikirkan bagaimana mendapatkan biaya untuk mendirikan bangunan ibadah tersebut. Di masa itu segalanya masih begitu sederhana.
Kemudian disadari bahwa potensi daerah mereka adalah pertanian. Maka diputuskan untuk mengumpulkan dana dengan cara menabung hasil panen padi. Padi dari masing-masing warga disimpan di sebuah lumbung, yang kemudian dikenal dengan sebutan Lumbung Pirukun. Ketika harga gabah naik, maka yang tersimpan di lumbung itu akan dijual. Dan sedikit demi sedikit uang yang didapat dikumpulkan.
Hingga pada tahun 1879, dari sumber lumbung pirukun itu mampu mengumpulkan uang sebanyak 6.000 gulden. Pada masa itu satu gulden masih setara dengan satu rupiah, mata uang Republik Indonesia. Keinginan yang besar, dengan niat yang luhur mendorong semangat mereka untuk terus merealisasikan pendirian gereja. Walaupun disadari dengan uang yang ada masih jauh dari cukup.
Namun semangat masyarakat pula yang membuat segalanya menjadi nyata. Hingga pada 24 Pebruari 1879, bisa dilakukan peletakan batu pertama. Sampai akhirnya pada bulan Desember 1880 pembangunan gereja itu pun selesai, seperti bentuknya yang tampak sekarang.

Gaya Byzantÿn dan Gothic

Tentang desain arsitektural dari gereja yang berdiri di perbatasan desa Mojowarno dan Mojowangi itu juga memiliki kisah tersendiri. Seorang arsitek yang juga mendesain pembangunan pintu air Mlirip Mojokerto, Ir. Wakkie, berinisiatif membantu dengan mengajukan sebuah gambar desain bangunan. Estimasi biaya pembangunan berdasar desainnya itu sebesar 75.000 gulden. Sementara uang yang ada cuma 6.000 gulden.

Sangat jauh dari cukup, persoalan kembali timbul. Bagaimana merealisasikan pembangunan dengan dana yang sedikit tersebut. Padahal dana yang terkumpul tersebut merupakan hasil swadaya masyarakat setempat. Tidak ada penyokong dana yang bisa diandalkan di masa itu. Hingga akhirnya solusi itu pun datang.
Kemudian ada seorang yang ingin mengulurkan tangan, CH Nash, salah seorang 'besar pabrik' (setingkat pimpinan) di pabrik gula. Walau bukan insinyur tapi pengalamannya di bidang bangunan cukup banyak. Dia mencoba membantu dengan mengusulkan perubahan pada desain rencana pembangunan.
Gambar yang diajukan Wakkie oleh Nash disederhanakan lagi menjadi bentuk seperti yang sekarang. Nash memperkirakan, dengan desain yang sudah dia sederhanakan biaya yang dibutuhkan hanya sekitar 10.000 gulden. Kabarnya, kelak dalam pengerjaannya pun ternyata Nash juga turut membantu mengawasi pembangunan gereja itu.
Pembangunan gereja ini dilakukan dalam sebuah kerja gotong-royong. Para jemaat yang kebanyakan berlatar belakang petani, melebur dengan tukang-tukang melakukan setiap pekerjaan. Laki-laki, perempuan, tua-muda, anak-anak dan dewasa, bahu-membahu bekerja.
"Waktu itu jumlah penduduknya masih belum sebanyak sekarang, mungkin masih dibilangan beberapa ratus orang," papar Madoedari lagi. Pembangunan gereja itu juga dikenal dengan istilah bermodal Bahusuku, yang artinya benar-benar swadaya dan swakarsa.
Gereja ini hingga kini masih tampak seperti awalnya, belum banyak yang berubah. Hanya lonceng yang pertama sempat pecah, kemudian diganti dengan lonceng baru yang ukurannya lebih kecil. Secara keseluruhan, gaya asitektural bangunan gereja ini merupakan kombinasi antara gaya Byzantÿn dan Gothic. Luas bangunannya adalah 28X15 meter, dengan daya tampung hingga 800 orang jemaat bahkan bisa lebih.
Dalam perkembangannya kini, di sisi selatan gedung gereja dibangun lagi satu gedung. Sekarang masih dalam taraf pengerjaan, mungkin baru selesai sekitar 60% dari keseluruhan total pekerjaan. Bangunan yang masih berada di lingkungan gereja, atau istilah masyarakat setempat tunggal pagar, kelak akan diproyeksikan sebagai pusat kegiatan jemaat. Mulai sebagai gedung pertemuan, di dalamnya juga akan disediakan fasilitas perpustakaan, dan lainnya.
"Gereja Kristen Jawi Wetan Mojowarno ini bisa dibilang adalah yang pertama di Jawa Timur," tutur perempuan yang masih tampak segar di usia berkepala tujuh. Kegiatan rutin yang mengisi gedung ini adalah kebaktian pada hari Minggu.
Waktu kebaktian tiga kali, masing-masing pada jam 04.30, 08.30 dan 17.30 WIB. Kebaktian yang dilakukan pada jam 08.30 menggunakan bahasa Jawa, karena jemaat yang mengikutinya kebanyakan mereka yang sudah sepuh dan mengaku lebih sreg dengan menggunakan bahasa ibu mereka.-az alim

Dimuat di Majalah Eastjava Traveler, Edisi 11 Desember 2007

Label:


Komplitnya !
posted by Alim @ Selasa, Maret 11, 2008   0 comments
About Me

Name: Alim
Home: Surabaya, Jawa Timur, Indonesia
E-mail: parama.j@gmail.com
See my complete profile
Previous Post
Archives
Links
Template by

Free Blogger Templates

BLOGGER