Pusakanesia

Pusaka Negeri Untuk Berbakti

 
Aku
Hanya orang biasa yang suka memandangi keindahan masa kini. Aku suka menikmati indahnya masa silam pada bentuk yang masih tersisa. Aku hanya ALIM yang ingin berbagi apa yang pernah aku baca, aku lihat, dan aku dengar. Aku hanya ALIM yang ingin bersama-sama menjaga kenangan sejarah yang masih tersisa.
Aksi
Asa
Menapak kembali jalanan hidup. Walau kerikil khilaf dan salah menghadang, tetap harus kita tatap. Setelah sebulan kita berusaha membasuh jiwa, agar di 1 Syawal bisa kembali ke fitrah. Mari saling buka hati untuk menebar maaf. Melanglang hari baru dengan jiwa bersih dan tujuan mulia, menjadi hamba dengan ridho Ilahi. Amin!
Aktif

Free shoutbox @ ShoutMix
Hit
free hit counters
Batik Madura
14 Juli 2007
Aura Hati Batik Tanjung Bumi

Terasa hidup dalam pandangan. Pancaran pemikat dalam kelebat helai kala disandang.

Batik Madura, tak lagi terdengar asing di telinga. Namanya sudah lama menyeruak ke seluruh penjuru nusantara. Bahkan ke beberapa belahan dunia lain. Performa batik asal Pulau Garam itu, kini relatif sejajar dengan karya batik-batik lain yang ada di tanah air.
Kecamatan Tanjung Bumi, yang berjarak sekitar 50 kilometer dari pusat kota Kabupaten Bangkalan, Madura, adalah salah satu sentranya. Nama Tanjung Bumi menjadi sangat identik dengan Batik Madura. Motif dan warna yang tertuang pada kain merefleksikan karakter masyarakat lokal.
Ciri khas batik pesisir dengan warna-warna berani dan corak bebas, begitu kentara. Hingga sekarang produksi batik yang masih menganut cara-cara tradisional itu masih berlanjut. Kabarnya, kegiatan yang kini menjadi UKM andalan dari Kabupaten Bangkalan itu, sudah berkembang sejak ratusan tahun silam.
Kebiasaan masyarakat di Tanjung Bumi dalam membatik ternyata cukup unik. Walau dari membatik mereka cukup merasakan hasilnya secara ekonomis, namun mereka tidak benar-benar ingin menggantungkan mata pencahariaannya dari kerajinan batik. ”Membatik tetap sebagai karya sambilan di samping rutinitas kegiatan keseharian mereka,” ungkap N. Wati As, perajin yang kini berkembang menjadi pengusaha Batik Madura. Penduduk setempat masih banyak yang hidup dari bercocok tanam dan berdagang di pasar, disamping mengurus rumah tangganya.
”Hal ini pula yang menjadikan produksi batik ini tidak bisa dijadwalkan secara tepat,” sergah wanita 51 tahun ini lagi. Membuat sehelai kain batik, paling cepat dikerjakan dalam tempo dua minggu, namun demikian jangan heran bila ada batik yang baru selesai setelah setahun dikerjakan. ”Para pembatik itu juga tidak mau dipaksa, walau karena alasan permintaan pasar sekalipun. Apalagi mereka diminta untuk bekerja di suatu tempat khusus, layaknya sentra kerajinan kebanyakan. Para perajin itu lebih suka mengerjakannya di rumah masing-masing dengan peralatan khas yang sangat tradisional,” paparnya pada Mossaik ketika ditemui di kediamannya.
Pembatik adalah manusia biasa, ada batas kemampuan dan kekuatan. Mungkin ini pula yang menjadi alasan kenapa prosesnya menjadi begitu lama. ”Satu atau dua jam membatik biasanya mulai lelah, ini berpengaruh pada hasil goresannya. Mereka akan berhenti, melanjutkannya lagi setelah fisik dan hati mereka segar kembali,” papar Wati diiringi senyum. Walau produksi kini mulai massal, namun prosesnya tetap tradisional. Ini pula yang menjadi nilai tambah dari batik-batik Tanjung Bumi. Menjadi lebih disukai, terutama oleh turis asing.
Mereka lebih banyak mengerjakan di rumah masing-masing, dari jasanya itu mereka bisa mendapat ongkos. Diantaranya berdasar cepat-tidaknya atau seberapa banyak yang bisa dikerjakan.
Mulai dua puluh ribu rupiah, hingga (total) mencapai Rp 500 ribu rupiah. Kebanyakan di sana, tidak semua orang bisa melakukan semua proses dari bahan baku hingga jadi kain batik yang siap jual.
Proses dalam pembuatan batik, menurut penuturan Wati, meliputi beberapa tahap. Pertama kain Mori putih yang hendak digunakan akan direndam dalam air bercampur minyak dempel (istilah orang setempat, red) dan abu sisa pembakaran kayu dari tungku. Proses perendaman ini dilakukan selama satu hingga dua minggu. Setelah direndam kemudian dicuci. Menurutnya, hal ini untuk menghilangkan zat yang melekat pada kain bawaan dari pabrik.
Setelah kering, kain tersebut akan masuk ke proses dikanji. Bahan yang digunakan untuk pengkanjian ini adalah sagu dari Ubi Kayu. Kenapa tidak menggunakan bahan tepung kanji yang banyak dijual di pasar? Konon, bahan itu lebih menyerap ke dalam serat kain, sementara tepung kanji biasa kurang. Setelah selesai tahap ini, mulai digambar. Berturut-turut tahap berikutnya adalah diisen, dikurik, dan atau ditembok. Fase ini merupakan pemasangan malam pada kain sebelum kemudian diwarnai.
Proses selanjutnya adalah pewarnaan, yang bisa berlangsung hingga dua kali. Setelah pewarnaan, kain batik tersebut dilorot. Proses ini merupakan usaha untuk menghilangkan malam yang melekat pada kain, yaitu dengan memasukan kain ke dalam air mendidih. Terakhir, adalah menjemur di tengah terik sinar matahari.
Mengimbangi semakin bagusnya animo pasar terhadap batik tradisional Madura ini, kenyataan baik sekarang para pembatik di sana mulai bertambah, sekitar 90 persen penduduk setempat membatik. Banyak anak gadis yang putus sekolah kini nyambi membatik. Jangan heran kalau di daerah tersebut anak usia kelas satu sekolah dasar sudah bisa membatik. ”Biasanya mereka meminta bahan bakunya lalu mereka kerjakan di rumahnya. Lumayan sekedar menambah uang saku mereka,” ungkap Wati lagi. Biasanya wati tidak memberikan target harus selesai kapan untuk selembar batik dengan panjang antara dua hingga tiga meter itu.
Wati sendiri mengaku, mulai menekuni batik sejak tahun 1978. Ini adalah usaha yang dimulainya sendiri. Ibu dua anak yang sebenarnya lahir di tanah Sumatera itu terinspirasi dari usaha jualan kain mertuanya kala itu. Hari demi hari, waktunya dia habiskan untuk melihat, sembari belajar, orang-orang kampung membatik.

Alami yang Disuka
Batik Madura mulai dilihat sebagai potensi Tanjung Bumi, dan Madura secara umum. Beberapa tahun silam, di Tanjung Bumi juga pernah didirikan Unit Pelayanan Teknik Batik (UPT Batik) oleh dinas Perindustrian Kabupaten Bangkalan. Sebab banyaknya pengrajin batik di Tanjung Bumi. Dalam perjalanannya UPT Batik itu berfungsi sebagai wadah dari hasil karya para perajin. Sekaligus sebagai mediator antara perajin dan pembeli. Pada saat itu semua batik hasil para perajin di kecamatan tersebut di kumpulkan di UPT tadi.
Menurut Wati, Batik Madura mulai tampak digemari mulai sekitar tahun 1985-an. Pemerintah kabupaten setempat pun memberikan perhatian. Ini sudah diterapkan sejak tahun 1981, salah satunya dengan UPT tadi. Namun kenyataan para perajin setempat mempunyai kultur berbeda. Harapan semula UPT ini bisa menjadi wadah komunikasi sekaligus koordinasi, mungkin kelak bisa menjadi semacam asosiasi. Namun langkah ke arah tersebut tidak pas bagi para perajin.
Para perajin setempat lebih suka menjual batik karyanya secara langsung sendiri-sendiri. Atau mereka (perajin sebagai plasma) menyerahkan kepada pengusaha (sebagai inti), dan pengusaha ini yang kemudian akan menjual melalui jalur pemasaran yang dimilikinya.
Sehingga jalan yang dianggap paling cocok adalah dengan menjadikan UPT sekedar sebagai wadah hasil karya mereka saja. Sebab itu pula UPT ini sempat stag, dan kabarnya tahun ini akan kembali diaktifkan. Bentuk lain perhatian pemerintah dan beberapa lembaga lain seperti mengadakan serangkaian pelatihan, melakukan studi banding, sampai dengan membuka kesempatan untuk mengikuti beberapa pameran.
Orang-orang asing, seperti dari Jepang dan Belanda, lebih menyukai Batik Madura yang orisinil. Bahkan mereka sangat tahu, mana batik yang menggunakan pewarna alami (soga alam), dan mana batik yang menggunakan naftol atau pewarna kimia.
Beberapa tamu asing yang datang ke sana, bahkan membawa alat (semacam keker) untuk mengamati serat kain batik tersebut. Mereka juga sangat cermat memperhatikan setiap detil pada kain tersebut. Mereka akan menolak batik yang ditemukan terdapat noda bekas tetesan. Dianggapnya, sang pembatik kurang teliti, kurang rapi, dan kurang menjiwai dalam pengerjaannya.
Harga produk batik dari yang termurah Rp 25 ribu, berupa taplak meja. Sedangkan yang paling mahal, seperti kain batik untuk busana wanita, bisa mencapai dua juta rupiah. Namun demikian, menurut Wati, juga ada batik yang harganya di kisaran Rp 100 ribu hingga Rp 500 ribu. -az.alim

--- oOo ---

Eksotis, di balik Tradisi Mistik

Diakui berbagai kalangan, bila Batik Madura memiliki eksotika tersendiri. Pesona khasnya memiliki daya pikat. Sudah galib bila Batik Madura sangat populer di kalangan para petinggi pemerintahan dan tokoh masyarakat, khususnya di Jawa Timur.
Menilik bahannya, tidak jauh berbeda dengan batik kebanyakan. Bahan batik dari kain katun juga ada yang berbahan sutra. ”Sementara ini untuk kain sutra hanya memenuhi permintaan khusus, walau belakangan agak macet,” ujar N. Wati As, sumber Mossaik di Tanjung Bumi.
Tidak semua batik yang menggunakan bahan sutra berharga mahal. Sebenarnya batik dengan bahan katun pun ada yang mahal. Apalagi batik dengan motif lama, atau yang tergolong batik Gentongan. Harganya bisa jauh lebih mahal dibandingkan yang berbahan sutra, bisa jutaan rupiah.
Batik Gentong mempunyai nilai lebih dalam tradisi Batik Madura. Di sebut genthongan, karena pada proses pewarnaannya di rendam dalam wadah gentong selama dua bulan. Kabarnya setelah direndam, lembaran batik tersebut kemudian disikat. Selain untuk membersihkan malam yang tersisa, juga agar warna lebih awet melekat pada kain. Tak heran bila batik ini bisa berumur hingga puluhan tahun lebih dengan warna tetap.
Kebanyakan batik gentongan ini harganya mahal. Sebab beberapa pertimbangan perajin ada yang menyiasatinya dengan semi gentong. Di sini perendaman dilakukan sebagian, atau tidak selama batik yang full gentongan. Konon, di daerah tersebut kini tidak banyak yang masih menerapkan cara gentongan ini.
Motif lama yang dimaksud Wati, lebih pada motif khas atau tradisional Madura. Kini motif batik Madura juga mulai mengadopsi beberapa motif kombinasi atau alternatif baru. Seperti desain gambar tunggal, baik bentuk burung atau bunga, dengan kurik (latar atau background, red) polos. Beberapa motif yang khas Madura seperti Sessek, Ramok, Rawan, Carcena, Memba, Panji, Napasir, Katupat, Kembang Pot, Pereng Basa, Truki Melati, dan Okel. Selain yang disebut itu sebenarnya masih banyak motif lainnya, menurut Wati, ada sekitar seratusan motif batik Madura, yang merupakan kombinasi satu sama lain.
Motif atau gambar yang tertuang pada helai kain itu adalah murni buah imajinasi para pembatik. Bisa dikata, yang tertuang dalam gerak tangan melalui media canthing itu adalah bahasa hati dan pikiran mereka. Sebab, gambar tersebut orisinil buah tangan maka pasti satu sama lain goresannya tidak sama, walau motifnya sama.
Berbicara hal warna, Batik Madura mempunyai pilihan warna yang khas yang juga menjadi cirinya. Warna-warna ini berasal dari bahan-bahan alam, atau dikenal dengan sebutan soga alam. Warna Merah berasal dari Mengkudu dan Tingi. Warna Biru berasal dari Daun Tarum. Sedangkan warna Hijau bersumber dari kulit Mundu ditambah Tawas. Warna terang dan gelap yang muncul pada kain batik berdasar waktu perendaman. Makin lama direndam, makin pekat warna yang dihasilkan.
Di balik proses pembuatan batik-batik itu beberapa terceletuk cerita unik. Hal-hal berbau sedikit mistis yang kadang tak sempat mereka urai dengan logika. Namun mereka percaya, dan dijalani saja sebagai bagian dari tradisi membatik.
Seperti dalam proses pembuatan batik, apabila ada saudara, kerabat, teman atau tetangga meninggal, pembatik tidak dapat melanjutkan pekerjaan membatik. Jangankan melanjutkan pekerjaan, menyentuh kain batiknya saja tidak boleh. Konon, ini akan menyebabkan warna pada batiknya itu menjadi suram atau tidak terang seperti yang diharapkan. Entah, yang pasti untuk kembali menyelesaikan garapannya sang pembatik harus menunggu hingga 40 hari sejak peristiwa kematian itu. Sudahlah, yang penting pesonanya yang kita butuhkan. Bila berminat silahkan datang dan dapatkan! -az.alim

*Dimuat di majalah Mossaik, Pebruari 2006

Label:


Komplitnya !
posted by Alim @ Sabtu, Juli 14, 2007   1 comments
Kontemplasi
13 Juli 2007

Pelajaran (dari) Televisi

Suasana sore yang menyenangkan, Yatno bergegas pulang dari tempat kerjanya. Yang menyelimuti pikiran tak lain wajah putra pertamanya. Bocah berusia tiga tahun itu kini sampai di fase lucu-lucunya seorang anak kecil. Badannya gemuk tapi tetap lincah, membuat gemes kedua orang tuanya kala berlama-lama memperhatikan gerak-geriknya.

Kehadiran si kecil menjadi motivasi tersendiri bagi Yatno. Selain makin bersemangat dia bekerja, keinginan selalu dekat dengan si kecil sering kali meracuni pikirannya. Rasanya tak ingin dia membuang waktu di luar jam kerja, tanpa berada di samping putra kesayangannya. Kehadiran Tole adalah tonggak bagi Yatno untuk semakin memantabkan statusnya sebagai pemimpin rumah tangga, suami dari seorang istri dan bapak dari seorang anak.

Dengan hati-hati Yatno bersikap dan memperlakukan Tole. Karena bocah itu adalah harapan masa depannya kelak. Selain itu Yatno juga ingin membuktikan bahwa dia dan istrinya sanggup menuntun anaknya menjadi pribadi yang baik dan membawa kebaikan bagi siapapun di sekitarnya kelak.

Di ruang keluarga, seperti biasa setelah sholat Maghrib mereka berkumpul di ruang keluarga. Dengan televisi menyala, Yatno dan istrinya menyaksikan tayangan opera sabun. Beberapa kali dia memindahkan chanel televisi. Semua sama, menayangkan sinetron yang temanya masih juga klise. Jauh bumi dan langit bagi kenyataan keseharian masyarakat kita sesungguhnya.

Terbersit dalam pikiran Yatno, kenapa sekarang tak ada lagi sinetron sejenis Jendela Rumah Kita, Rumah Masa Depan, Dokter Sartika atau seperti Keluarga Cemara. Sesuatu yang lebih menggambarkan realitas masyarakat kita. Tidak sekedar membumi tapi juga memberi tauladan, bagaimana berbudi yang baik. Sesuatu yang sederhana tapi bisa dikemas dengan apik.

Di rumah sederhananya, keluarga kecil ini berkumpul terus menerima terpaan sajian televisi ditemani teh manis dan kue kecil. Walau tetap sibuk dengan mobil-mobilan kecilnya, sesekali Tole juga tampak memperhatikan tayangan televisi itu dengan tekun. Sepertinya dia juga sedang menangkap sesuatu, mungkin juga sedang mempelajari sesuatu dari tayangan itu.

Pada suatu chanel yang sedang mereka lihat, tampak seorang ibu dan seorang anaknya yang lain. Mereka sedang bersenang-senang menyiksa seorang anak, yang ternyata anak dan saudara tiri mereka. Hingga sampai pada adegan si anak tiri tadi disiram dengan minyak tanah oleh ibu dan saudara tirinya. Kemudian bersiap untuk dibakar. Setelah masuk tayangan iklan, Yatno pun mengganti lagi chanel.

Tayangan perkelahian muncul, bahkan salah satunya ada yang memegang belati. Begitu iklan muncul, kembali chanel tv itu kembali berganti. Sekarang yang muncul di layar kaca berukuran 14 inch itu seorang ibu muda yang berusaha menyiksa pembantunya. Tampaknya malam itu adalah malam puncak konflik dari semua sinetron di hampir semua stasiun tv di negeri ini. Malam dimana si Jahat harus diekspos saat sedang menundukkan si Baik dengan segala daya liciknya.

Hari masih pagi saat Yatno kembali berkutat dengan pekerjaan di meja kantornya. Tak lama telepon di dekatnya berdering. Ternyata di seberang istri Yatno yang menghubunginya. “Kenapa begitu?” tampak raut wajah Yatno heran. Istri Yatno melaporkan kalau pagi tadi anaknya, si Tole, telah berlaku kasar pada si Budi anak tetangga, teman bermainnya.

“Kenapa tidak kamu jaga,” sergah Yatno lagi. Si Tole ternyata telah menyiram tubuh si Bayu dengan campuran air dan tanah yang semula jadi bahan mainan mereka berdua di halaman rumah. Tidak itu saja ternyata kaki Bayu juga menerima hantaman ember kecil mainan mereka hingga Budi menangis sejadinya. Budi pun diantar pulang oleh istri Yatno. “Sudah, kamu minta maaf sana,” kemudian Yatno pun meletakkan gagang telepon.

Yatno hanya bisa diam, benaknya meraba bagaimana itu bisa dilakukan si Tole, anaknya. Apa karena yang dia tonton semalam di televisi? Kalau itu perangsangnya, berapa banyak lagi anak-anak yang juga menyaksikan adegan-adegan serupa semalam? Jika semua menyerap mentah-mentah, seperti apa jadinya kelak negeri ini. Mengingat tv menjadi media yang banyak digemari sekarang. Kabarnya masyarakat kita lagi tv minded, karena daya tariknya lebih dibandingkan dengan media massa lain.

Beban pikiran Yatno semakin banyak. Dia sangat tidak ingin anaknya menjadi arogan, terlebih menjurus anarkis. Dia sangat tidak berharap anaknya menjadi tidak santun, dan tak bisa menghargai orang lain. Haruskah dia melarang anak dan keluarganya untuk tidak menonton tv tanpa didampinginya. Tapi tv adalah satu-satunya hiburan kala mereka ditinggalnya bekerja.

Dalam tataran sosiologis-psikologis, pengalaman ini bisa dikaitkan dengan sebuah model dalam tinjauan efek komunikasi massa. Harold Lasswell (1927), dengan teorinya Hypodermic needle model atau Magic bullet theory. Menganggap bahwa komunikasi masa dapat mempengaruhi perilaku dan pemikiran masyarakat dengan seketika dan secara efektif. Ibarat dokter yang menyuntik pasiennya atau peluru yang ditembakkan pada targetnya, langsung kena sasaran.

Teori ini menganggap masyarakat sebagai pemirsa yang pasif, karenanya dapat dengan mudah termakan pengaruh media. Terlalu sederhana barangkali kalau kita menilainya demikian, terutama pada masyarakat kita di jaman seperti ini. Tapi kita tidak bisa juga menutup mata, pada kontek tertentu bisa juga ini terjadi. Bagi anak-anak misalnya, sayangnya ini yang seringkali luput dari perhatian kita.

Sebagian pendapat menyatakan, sekarang sudah tidak memungkinkan penonton bisa memilih dengan bebas dan merdeka. Semua lebih karena model tayangannya yang relatif sama, hampir di setiap chanel tv. Demikian halnya dengan tayangan untuk anak. Tak heran kalau kemudian muncul pertanyaan, Anak siapa yang dewasa ini bisa memilih tayangannya secara sehat, kreatif, dan berbasis pada nilai budi pekerti? Bahkan tayangan yang jelas-jelas ditujukan untuk konsumsi anak masih juga diwarnai dengan kekerasan yang mengkawatirkan.

Setuju dengan apa yang disampaikan pakar komunikasi Unhas, S. Sinansari Ecip, pada sebuah kesempatan “Sejumlah tayangan televisi perlu difilter lebih lembut.” Orang dewasa saja bisa termakan pengaruhnya, apalagi anak-anak yang masih perlu dibangun frame of thinking-nya. Masa depan negeri ini juga berada di pundak anak-anak kita.-az.alim

Label:


Komplitnya !
posted by Alim @ Jumat, Juli 13, 2007   0 comments
About Me

Name: Alim
Home: Surabaya, Jawa Timur, Indonesia
E-mail: parama.j@gmail.com
See my complete profile
Previous Post
Archives
Links
Template by

Free Blogger Templates

BLOGGER