Pusakanesia

Pusaka Negeri Untuk Berbakti

 
Aku
Hanya orang biasa yang suka memandangi keindahan masa kini. Aku suka menikmati indahnya masa silam pada bentuk yang masih tersisa. Aku hanya ALIM yang ingin berbagi apa yang pernah aku baca, aku lihat, dan aku dengar. Aku hanya ALIM yang ingin bersama-sama menjaga kenangan sejarah yang masih tersisa.
Aksi
Asa
Menapak kembali jalanan hidup. Walau kerikil khilaf dan salah menghadang, tetap harus kita tatap. Setelah sebulan kita berusaha membasuh jiwa, agar di 1 Syawal bisa kembali ke fitrah. Mari saling buka hati untuk menebar maaf. Melanglang hari baru dengan jiwa bersih dan tujuan mulia, menjadi hamba dengan ridho Ilahi. Amin!
Aktif

Free shoutbox @ ShoutMix
Hit
free hit counters
Karapan Kambing
02 Oktober 2007
Asal Mula Karapan Kambing

K
onon karapan kambing berasal dari desa Langsar, Kecamatan Bluto, di Kabupaten Sumenep. Dalam perkembangannya lalu masuk ke beberapa daerah lain di Sumenep. Bahkan juga berkembang dan digemari oleh beberapa pemilik kambing di kota Sumenep sendiri. Diyakini karapan kambing masuk ke Sumenep sekitar tahun 1985.
Karapan kambing sebenarnya, muncul sebagai sarana pengisi waktu luang. Sekedar menjadi obat kejenuhan dalam keseharian setelah menjalani kewajiban sebagai patani atau pedagang. Ternyata ampuh, kerapan kambing mampu menggugah kegembiraan dan keceriaan mereka.
Kalau dalam skala perlombaan, mulai pertama kali dilaksanakan di desa Pagar Batu, Kecamatan Seronggi. Belakangan mulai terindikasi kalau kambing yang paling banyak digunakan untuk karapan memang berasal dari Sepudi, salah satu gugusan kepulauan di Timur Sumenep. Seperti dikenal banyak orang, Sepudi juga merupakan sumber dari bibit-bibit unggul sapi karapan.
"Di awal ketika coba-coba di karap, masih menggunakan kambing sembarang. Tidak seperti sekarang yang mulai lebih spesifik perawatannya. Tetapi karena memang mengasyikkan, maka seleksi pun dilakukan. Tidak semua kambing bisa dijadikan kambing karapan," tutur Herman, 44, pemilik kambing karapan asal Sumenep.
Pernah pula dicoba karapan kambing seperti layaknya karapan sapi. Waktu itu diadakan di daerah Ketapang, Kabupaten Sampang. Tapi karena susah untuk mendapatkan sepasang kambing yang sama-sama kencang larinya. Model demikian akhirnya kurang digemari, dan hilang dengan sendirinya.
Jalur penyebaran demam kambing karapan mulai dari Bluto, kemudian ke Sumenep dan sekitarnya. Lalu terus menyebar ke arah Barat menuju daerah-daerah di wilayah Kabupaten Pamekasan. Kemudian terus merebak ke Barat hingga sampai di Blega, Galis di Bangkalan. "Karapan kambing memang dari awal dipopulerkan oleh kalangan muda," ujarnya lagi. Baru kemudian menular ke mereka di golongan tua.
Di Sumenep, tanggal 5 Maret lalu, kembali diselenggarakan lomba karapan kambing. Lomba ini terbilang skala besar, hadiah utama sebuah sepeda motor dengan uang pendaftaran sebesar Rp 100 ribu. Lomba yang hanya menargetkan 90 ekor kambing karapan itu diikuti oleh seluruh pemilik kambing mulai dari Kabupaten Bangkalan hingga Sumenep. Jumlah peserta dibatasi, menurut salah seorang penyelenggara semata demi memudahkan pembuatan skema perlombaan.
Tempat penyelenggaraan lomba karapan kambing di tingkat lintas kabupaten selalu bergiliran. Sementara untuk tingkat lokal kabarnya sering dilaksanakan walaupun jadwalnya belum tetap, yaitu setiap dua minggu sekali. Di Sumenep dilaksanakan pada minggu pertama dan minggu ketiga.
Hampir di semua kecamatan di Sumenep terdapat lapangan karapan kambing. Yang dekat dengan kecamatan Kota Sumenep terletak di desa Batuan. Di Kecamatan Seronggi juga ada, di Bluto bahkan di daerah kepulauan seperti Sepudi juga terdapat arena karapan kambing.
Di kabupaten-kabupaten lain arena yang tidak membutuhkan lahan luas ini juga sudah banyak. Walaupun fisiknya tidak permanen, setidaknya mereka mempunyai lokasi-lokasi yang sering digunakan untuk ajang ini.
Sebenarnya event-nya sendiri sudah banyak dan sering dilaksanakan. Tapi sayang hingga sekarang belum ada jadwal resmi yang bisa memandu kapan kita bisa menyaksikan karapan kambing. Dan kemana kita bisa datang untuk melihat kunikannya.
Ada kisah, diawal kemunculan karapan kambing ini dari Sumenep. Semula hampir sama dengan karapan sapi umumnya. Yaitu dua ekor kambing menggunakan kaleles (rangka kayu yang diikatkan ke badan kambing/sapi, red), diadu kecepatannya dengan pasangan yang lain.
Kemudian seiring perjalanan waktu, ternyata sangat sulit untuk mendapatkan sepasang kambing yang sama-sama bagus. Hal ini diantaranya yang kemudian membuat masyarakat kurang tertarik. Jadi kendalanya sangat sulit untuk mendapatkan sepasanga bibit yang bagus. Tetapi justru antara satu kambing dengan yang sepasang, lebih menarik yang satu kambing. Kalau istilah mereka 'lebih lucu'.

Piranti Karapan
Dalam karapan kambing, kambing-kambing yang dilombakan tidak dibedakan ukurannya baik besar atau yang kecil. Semua adalah kambing dengan kelamin betina. Usia kambing yang ideal untuk karapan, kalau diibaratkan peredaran matahari sepanjang hari adalah di sekitar jam 9 pagi. "Jadi setidaknya kambing tersebut belum ganti gigi (poang, dalam bahasa Jawa), antara 3-4 bulan," papar Herman yang mengaku kambing karapannya sekarang ada enam itu.
Ketika berada di arena lomba atau karapan, si kambing harus dilengkapi dengan beberapa peralatan. Beberapa perlengkapan yang digunakan dalam karapan seperti jepitan telinga kambing, rekeng (sejenis bandulan tapi berpaku), kaleles. Kaleles ini beberapa buatan sendiri, tapi ada juga yang memesan dengan harga sekitar Rp 100 ribu. Bahan yang digunakan adalah kayu jati dan rotan. Peralatan lainnya adalah kalonongan, ini terbuat dari kaleng kecil, biasanya bekas korek api. Benda lain yang tak kalah pentingnya adalah balsam dan minyak angin.
Apa fungsi kedua benda yang disebutkan terakhir? Kedua barang itu digunakan ketika kambing akan memulai start. Beberapa bagian dari badan kambing akan dilumuri balsam dan minyak angin. Dengan panas yang dirasa, maka kambing-kambing itu akan berlari sekuat tenaga.
Beberapa ciri kambing karapan yang bagus; bentuk kepala cenderung kecil, badan lurus, pangkal kaki depan tampak besar, posisi badan seperti nungging, usia minimal 3 bulan ke atas, dan belum beranak. Berdasar pengalaman walaupun kambing sudah di setup sebagai kambing karapan, tapi masih sangat memungkinkan untuk kawin dan beranak. Bahkan beberapa dari kambing yang diikutkan lomba masih dalam kondisi bunting muda.
Yang pasti, bila sang induk merupakan kambing karapan yang handal, bukan tidak mungkin keturunannya bisa menjadi kambing karapan yang jagoan pula. Bila seekor induk kambing adalah seekor kambing karapan, kemudian diketahui anak generasi pertamanya juga menjadi kambing karapan yang berlari kencang. Maka, bisa dipastikan generasi kedua dari induk tersebut akan ditunggu oleh banyak penggemar kambing karapan.
Sementara ini kebanyakan orang membeli kambing karapan bukan dari bibit yang memang sama sekali belum pernah dilatih karapan. Namun bukan berarti yang demikian ini tidak ada. Ada pula orang yang coba-coba melakukan spekulasi membentuk kambing karapan dari yang benar-benar anak-an. Kebanyakan dari mereka membeli yang sudah jadi, dan siap diadu kecepatan. Atau yang setengah jadi.
Yang dimaksud dengan kambing karapan setengah jadi, kambing tersebut sebelumnya sudah pernah dilatih oleh orang lain. Atau bahkan sudah pernah mengikuti beberapa lomba. Kalau ada yang tertarik, maka jadilah transaksi jual-beli kambing.
Jika kambing yang dibeli itu masih ada induknya, maka biasanya akan disertai dengan kesepakatan untuk meminjam induknya pula. Tidak sampai disitu, acap kali ada pula yang diikuti dengan kesepakatan pinjam orang yang khusus merawat kambing karapan itu. Pemilik kambing karapan tidak hanya satu atau dua ekor. Tetapi ada memiliki kambing karapan hingga 10 ekor.-az alim

Dimuat di Majalah Mossaik, Edisi April 2005

Label:


Komplitnya !
posted by Alim @ Selasa, Oktober 02, 2007   0 comments
Karapan Kambing
EKSPRESI MUDA KARAPAN KAMBING

Tak begitu populer, tapi yang suka tak pandang bulu. Para pemuda yang pertama meretas, kini tua-muda semua terlibas gemar karapan kambing.


Mentari dengan leluasa menebar terik pada siapa saja siang itu. Butiran keringat menetes, toh tidak mengurangi tekad para pemilik mereka yang ada di sana. Untuk terus berkompetisi, membuktikan kambing siapa yang paling jago dalam memacu kecepatan lari.
Di lapangan Pemburu, daerah Dalpenang, Kabupaten Sampang, tampak kerumunan orang. Mereka mengelilingi sebuah arena yang dikelilingi sesek (sejenis anyaman bambu, red) dengan panjang berukuran 135, dan ukuran lebar sekitar 25 meter. Berkali-kali dari arena tersebut terdengar suara-suara seperti kaleng diiringi sorak-sorai orang-orang di sana. Hingga suasana ramai pun tak terelakkan.
Di tempat terpisah tampak beberapa kelompok orang berkerumun. Diantara mereka terdapat beberapa ekor kambing yang bulunya bagus, mengkilat. Mereka adalah kelompok peserta lomba yang kabarnya datang dari berbagai daerah di pulau Madura.
Itulah arena karapan kambing, jauh berbeda memang dengan arena karapan sapi. Arena karapan sapi jauh lebih kokoh dan permanen. Sementara untuk karapan kambing begitu sederhana dan ala kadarnya. Maklum event yang bisa disebut kakayaan budaya itu belum digarap secara total.
Berangkat dari sekedar kesenangan untuk pengisi waktu luang. Kini karapan kambing berubah menjadi demam yang merebak di belantara Pulau Garam. Walaupun belum sepopuler Karapan Sapi, yang lebih dulu dikenal, karapan kambing mulai digemari kini.
Karapan kambing sebenarnya mulai merebak dalam 3 tahun terakhir. Di Sampang sendiri ternyata belum lama ramai, sekitar 6 bulan terakhir. Tempat yang digunakan untuk ajang ini masih belum permanen. Sebelumnya di lapangan Duko Permai, Kelurahan Kolagan. Sekarang mengunakan lapangan Pemburu di Kelurahan Dalpenang. Setelah kemunculannya di daerah Sumenep, karapan kambing merembet ke Sampang hingga ke Bangkalan.
Masyarakat setempat, seperti penuturan Moh. Husein, 41, "Motivasi kami penyelenggarakan karapan kambing sebagai media hiburan alternatif," jelasnya. Ini sekaligus sebagai sarana penyaluran bagi kalangan pemuda untuk mendapatkan kesenangan. Menurut Husein, sangat bermanfaat untuk mengurangi dampak negatif kegiatan para pemuda itu.
Selama ini banyak diantara mereka yang gemar melakukan balapan motor liar (trek-trekan) pada malam Minggu. Diakuinya dengan adanya karapan kambing bisa pula mengurangi kegiatan-kegiatan negatif lain. Bahkan Husein mencatat karapan kambing ini lebih banyak digemari kalangan muda.
Apresiasi masyarakat ternyata begitu bagus. Animo masyarakat sangat tampak. Di Sampang saja sedikitnya terdapat 70 orang pemilik kambing karapan. Pejabat pemerintahan setempat pun tak melepaskan perhatiannya. Event Polagan Cup, yang memperebutkan hadiah utama sebuah sepeda motor, berkenan dibuka oleh Bupati Sampang.
Kalau kita perhatikan karapan sapi peminatnya sangat jelas, yaitu mereka orang-orang kaya. Sementara karapan kambing tidak demikian. Mereka dari kalangan menengah pun bisa turut berpartisipasi di ajang ini. Di karapan sapi golongan masyarakat menengah ke bawah, secara finansial tidak mampu untuk memiliki atau memeliharanya. Sapi karapan harganya sekarang bisa mencapai ratusan juta, belum lagi dengan biaya perawatannya. Sedangkan kambing karapan harga di kisaran tiga juta rupiah saja sudah bagus.
Pagi itu yang datang turut serta sebanyak 54 ekor kambing. Agar jalannya baik, dalam setiap lomba selalu dibuatkan skema peserta perlombaan yang dibagi menjadi beberapa pol. Dan setiap pol terdiri dari 20 nama kambing peserta. Menurut panitia pelaksana ini sekedar untuk mempermudah aduan antara kambing yang satu dengan kambing yang lain.
Terdapat tujuan ideal yang tersimpan dalam setiap kegembiraan penyelenggaraan karapan kambing. "Pada dasarnya adalah untuk mencari teman atau saudara," tutur Husein, yang ditemui Mossaik di tengah kesibukannya mengatur peserta. Pada kesempatan tersebut diikuti oleh peserta dari semua kabupaten di Madura.
Panitia pelaksana event itu menyatakan, akan membuat rutin kegiatan karapan itu setiap tahun, rencananya diantara bulan April dan Mei. "Semua memang berharap agar bisa rutin dan menjadi lebih semarak," ujarnya lagi.
Di Sampang sendiri masih baru dilaksanakan setiap dua minggu sekali, setiap hari Sabtu dan Minggu pada minggu kedua dan minggu keempat. Kata Husein, ini juga terkait dengan jadwal kegiatan karapan kambing yang diselenggarakan di kabupaten lain. Jadi sengaja dibuat semacam estafet. Kabarnya di Sumenep juga dilakukan hal serupa. Karapan kambing juga dilakukan sekali setiap dua minggu, pada minggu pertama dan ketiga.
Dari berbagai kebiasaan dan datang dari semua penjuru Madura, berkumpul di sebuah arena. Berbaur dalam sebuah kompetisi. Tak jarang komunikasi pun terjalin, di balik persaingan saling menjagokan kambingnya masing-masing. Bahkan terbersit di benak mereka, bagaimana jika kelak karapan kambing dibuatkan agenda rutin. Sehingga ke depan bisa disejajarkan dengan karapan sapi.

Layanan Plus

Istimewa memang kambing-kambing karapan ini. Tidak seperti kebanyakan kambing peliharaan yang lain, kambing karapan harus mendapat pelayanan ekstra dari empunya. Jika kambing kebanyakan, dibiarkan di ladang atau tegalan untuk memakan sendiri rumput yang ada di depannya. Tidak demikian dengan kambing-kambing karapan.

Bayangkan, makan saja kadang disuapi belum lagi makanan yang diberikan itu tidak asal-asalan. Itu masih belum menilik komposisi ramuan jamu yang harus diminumnya setiap hari. Satu hal lagi, seluruh bulu di badannya harus dipotong pendek dan rapi. Belum lagi terapi pijat yang juga harus rutin diberikan.
Tak salah memang bila kambing-kambing karapan ini akan mendapat sesuatu yang lebih. Bila ia bisa sukses di arena karapan, bukan saja akan memberikan kesenangan tapi juga kebanggan. Konon setiap kemenangan yang diraih pula mampu mengangkat nama pemiliknya. Setidaknya menjadi terkenal di kalangan tersebut.
Ada yang berbeda pada Luqman, adalah salah satu dari sekian pemilik kambing karapan. Tampaknya kambing-kambingnya sekarang sedang berada di atas angin. Dalam beberapa lomba terakhir, acap menjadi juara.
Sejauh ini pengalaman Luqman, tidak merasa kesulitan dalam merawat kambing karapannya itu. Bahkan yang paling sering dilakukannya adalah menggiring kambing-kambing karapannya itu ke tegalan. Agar kambingnya itu makan rumput di alam bebas. Jarang sekali dia menyediakan rumput untuk kambingnya itu. Tapi diakui Luqman kalau selama ini dia juga dibantu oleh seseorang yang bertugas khusus untuk merawat kambing-kambingnya itu.
"Yang namanya kambing karapan, tetap harus mendapat supplemen makanan. Bila siang hingga sore kambing-kambing itu makan sendiri di ladang, malam harinya kambing tersebut akan mengkonsumsi supplemen," urai Luqman.
Penuturan Luqman, supplemen yang diberikan kepada kambing-kambingnya itu terdiri dari telur ayam kampung, antara 10-15 butir, ditambah minuman energi yang banyak dijual di pasaran. Serta ditambah sari ginseng. "Kalau ditaksir biaya yang terpakai untuk perawatan saja bisa mencapai satu juta rupiah per bulan," tambahnya.
Perawatan spesial lainnya yang di dapat kambing-kambing karapan itu seperti, pertama bulu-bulu kambing itu harus dicukur tipis. Setiap hari kambing itu akan dimandikan tiga hingga empat kali sehari dengan air hangat dan shampoo. Selain itu juga akan mendapat pijatan-pijatan di beberapa bagian tubuhnya.
Luqman mengaku, mulai memelihara kambing karapan sejak lima bulan lalu (akhir Nopember 2004). AC Milan kambingnya dibeli seharga Rp 2,1 juta di Sumenep. Setelah terbukti beberapa prestasi diraihnya, kini tawaran untuk terhadap AC Milan pun berdatangan. Terakhir, kambing berwarna hitam dengan kombinasi putih di kepala itu ditawar dengan harga Rp 6 juta. Tapi sayang, Luqman belum ingin menjualnya.
"Seandainya ada yang mau menukar kambing saya dengan sepeda motor baru dari dealer, mungkin saya mau," tukas Luqman. Jika ada yang mau membelinya seharga Rp 13 juta, sepertinya dia akan melepas kepemilikan kambingnya.
Awalnya Luqman hanya sekedar senang melihat lomba karapan kambing. Lama-kelamaan tertarik juga, kemudian mulai dia mencari-cari informasi tentang kambing karapan. Tak lama berselang, datang seorang temannya mengajaknya untuk memelihara kambing karapan. Maka pergilah Luqman ke Sumenep, karena memang di Sumenep lah sumbernya kambing karapan sementara ini.
Luqman menuturkan masih ingin terus menggeluti karapan kambing itu, sepanjang kambing-kambing miliknya masih mampu berprestasi. Dia masih mempunyai kinginan yang lebih tinggi. Luqman ingin kambing karapan miliknya menjadi yang tercepat di pulau Madura. Bahkan ke depan, Luqman mengaku masih punya rencana untuk menambah lagi jumlah kambing karapannya. "Saya ingin nambah satu kambing karapan lagi," ujar kelas 2, SMA 1 Sampang itu.
Luqman juga punya harapan, di masa mendatang menginginkan agar kedua kambingnya terus merajai di setiap lomba karapan kambing. Hingga sekarang, masih kambingnya si AC Milan lah yang memegang rekor tercepat di Sampang, yaitu 10,2 menit.
Kambing karapannya yang bernama AC Milan sudah empat kali menggondol juara dengan berbagai hadiah, seperti TV 20" hingga sepeda motor. Kambing tidak sekedar jagoan kandang, terbukti di Sumenep pernah dua kali berturut-turut menjadi juara. Munurut Luqman, kedua kambingnya itu sudah menjadi langganan juara, biasanya nomor satu dan dua.
Obsesi Luqman itu masih ingin terus merambah lebih banyak lagi ajang lomba karapan kambing. Setiap kali ada event karapan, biasanya para pemilik kambing yang ada di seluruh daratan pulau Madura akan mendapat undangan dari panitia.
Luqman dalam menekuni kegemarannya ini ternyata pula mendapat dukungan dari orang tuanya. Tidak tanggung-tanggung, mulai dari dukungan moril hingga materiil. "Mereka juga ikut senang kalau kambing saya menang," ucapnya. Beberapa hadiah yang telah pernah digondolnya berupa dua buah televisi, sepeda gunung, dan yang terakhir berupa sepeda motor. Karena memang hingga kini hadiah dari lomba karapan kambing ini belum pernah dalam bentuk uang.
Cerita Luqman itu hanya bagian kecil dari sekian pemilik kambing. Karapan kambing memang ada, dan itu digali dari budaya asli masyarakat. Atau bahkan mungkin tidak akan kita temukan di tempat lain. Adakah kita perlu untuk melestraikannya?
Belum lah banyak yang kenal karapan sapi, karenanya ia kurang populer. Seandainya mereka yang terkait dengan kepentingan budaya atau hal sosial setempat bersepakat. Menjadikan ajang karapan sapi sebagai salah satu agenda. Maka makin kaya pula khasanah budaya bangsa ini. Dan makin banyak pula yang bisa kita tawarkan pada wisatawan. Pasti bisa! -az alim

Dimuat di Majalah Mossaik, Edisi April 2005

Label:


Komplitnya !
posted by Alim @ Selasa, Oktober 02, 2007   0 comments
Perahu Madura
01 Oktober 2007
Reka Cipta Paraoh Majang

Ketika laut menjadi tumpuan harapan. Bersama perahu memecah ombak. Menitip asa demi tradisi.


Kala sumber hidup berada nun jauh di tengah laut, ombak dan angin yang menghadang. Tak pula menyurutkan semangat untuk meraup limpahan rejeki Tuhan itu sebanyak manusia bisa. Demikian semangat yang membara di hati para nelayan di pesisir Utara Pulau Garam, Madura.
Majang, atau turun ke laut untuk mencari ikan adalah mata pencaharian utama mereka. Sebagai nelayan, laut adalah ladang yang menjadi sumber kehidupan mereka bersama sekian keturunannya. Walau dengan piranti yang belum bisa dikata modern, tapi mereka tetap bisa eksis hingga kini.
Perahu, atau yang biasa mereka sebut dengan Paraoh, adalah tunggangan andalan mereka dalam memecahkan setiap tantangan di laut lepas. Dengan perahu-perahu khasnya, mereka mengais setiap ekor ikan yang terperangkap di sela jaring.
Perjalanan sepanjang lebih dari lima jam yang cukup melelahkan, akhirnya sampai juga Mossaik di sebuah lokasi tujuan liputan. Hari sudah jelang senja, walau sinar surya masih tersisa. Di ufuk barat perlahan matahari turun, seakan ingin menuntaskan tugasnya menerangi mereka yang beraktivitas di bibir pantai itu.
Yang menarik dari perjalanan Kami kali ini bukan pada aktivitas melaut para nelayan itu. Di antara puluhan perahu nelayan yang berjajar menunggu waktu untuk kembali turun ke laut, tampak kegiatan pembuatan perahu-perahu dengan bahan kayu.
Suara riak ombak tersapu angin yang menggiringinya ke hamparan pasir. Masih pula mewarnai kesibukan beberapa nelayan yang berbenah di perahunya. Sebagian lain sedang sibuk dengan alat-alat tradisional menyelesaikan sisa pekerjaan. Agar perahu yang dibuat segera beres.
Beberapa orang tampak sibuk di atas kerangka yang masih berwarna alami kayu jati. Dari pengamatan Mossaik terdapat empat perahu yang sedang dalam proses pembuatan dengan ukuran besar dan kecil. Tangan-tangan terampil mereka menari di atas papan-papan kayu itu.
Nirun, adalah satu di antara tukang pembuat perahu nelayan yang ada di Desa Pasongan, Kecamatan Pasongsongan, yang masih termasuk daerah Kabupaten Sumenep. Dibantu dua orang tukang perahu lainnya, ditambah lima orang pembantu tukang. Nirun sedang menyelesaikan sebuah perahu yang berukuran cukup besar.
Tidak hanya Nirun dan rekannya, di beberapa bagian yang lain di lokasi yang sama juga terlihat beberapa tukang pembuat perahu sedang menyelesaikan pekerjaan membuat perahu-perahu tradisional nelayan. Di kejauhan ada yang tampak sedang merangkai rangka utama perahu. Sementara di bagian lain sudah ada yang mulai memasang lembaran kayu untuk dek perahu-perahu.
Sebuah suasana yang khas kampung nelayan. Di saat hari beringsut senja, orang-orang di sana sudah banyak yang santai di depan rumah-rumah mereka. Untuk bisa mencapai lokasi pembuatan perahu Mossaik masih harus berjalan menyusuri jalan kampung. Setelah sebelumnya menempuh jarak sekitar 40 kilometer dari pusat kota Sumenep dengan bermobil.
Nirun yang sedang sibuk menata papan-papan kayu di atas perahu buatannya, menyambut ramah kedatangan Mossaik. Pertanyaan "Dari mana Pak?" berkali-kali muncul dari orang-orang yang berpapasan dengan kami. Termasuk dari rekan-rekan Nirun sendiri.

Ilmu Turunan
Obrolan bersama Nirun dan yang lain segera dimulai. Kami tidak mau kehilangan setiap detik tersisa senja itu. Terutama agar dari sisi visual kami bisa mendapatkan hasil yang optimal. Fotografer dan reporter pun segera menjalankan tugasnya masing-masing.
Ternyata Nirun tidak keberatan untuk meninggalkan pekerjaannya sejenak. Sekedar untuk menjawab setiap pertanyaan kami, yang harus kami lakukan dalam bahasa Madura. Dari kisahnya, di daerah tersebut memang banyak yang punya keahlian sebagai pembuat perahu.
Nirun sendiri menekuni pembuatan perahu tradisional itu sejak tahun 1997. Ilmu membuat perahu nelayan tradisional yang dimilikinya sekarang adalah hasil berguru pada tukang pembuat perahu pendahulunya. Kisahnya, semula dia hanya membantu para tukang di sana. Yaitu sebagai pembantu tukang dalam pembuatan perahu.
Setelah sekian lama, keahliannya mulai terasah. Maka dia pun pelan-pelan mulai mendapat pesanan sendiri untuk menggarap pembuatan perahu. Dalam pembuatan perahu walau dikerjakan oleh lebih dari satu tukang. Biasanya tetap ada satu orang tukang yang mengepalai dan bertanggung jawab penuh dalam proyek tersebut.
Selama ini, menurut Nirun, pemesan yang masih sering order padanya kebanyakan para juragan perahu asal daerah sekitar. Belakangan dia menyebutnya dengan panggilan Bos. Dari bos-bos itu yang kemudian memintanya untuk membuat perahu. Sekarang Nirun sudah bisa mandiri, dia mempunyai dua orang anak buah.
Menurutnya sebuah perahu biasanya dikerjakan oleh tiga orang tukang dan dibantu oleh empat sampai lima orang pembantu tukang. Dalam pembuatan perahu, kata Nirun, yang paling sulit adalah ketika membuat kerangka utama dari sebuah perahu. Atau yang biasa mereka sebut dengan aroan. Kisahnya, beberapa helai kayu yang digunakannya bahkan harus dibakar untuk mendapatkan lekuk seperti yang diharapkan.
Bahan kayu yang digunakan adalah kayu Jati. Gelondongan kayu jati harus dibelah menjadi lembaran demi lembaran, dengan ukuran tebal 4,5 hingga 5 sentimeter. Berikutnya dipilih yang kualitasnya benar-benar bagus.
Kayu-kayu jati itu sementara ini masih didatangkan dari beberapa daerah yang ada di Madura. Tapi, kata Nirun, beberapa yang lain juga ada yang mendatangkan dari Ponorogo. Bisa dibayangkan berapa banyak kayu yang dibutuhkan untuk membuat sebuah perahu. "Untuk satu unit perahu besar dengan ukuran panjang 14 meter dan lebar sekitar 5,10 meter, bisa menghabiskan kayu sebanyak 7 kubik," tutur bapak dua anak ini.

Tahap Demi Tahap
Membuat sebuah perahu ternyata tidak sesederhana yang kita bayangkan. Dalam pembuatan sebuah perahu sampai dengan benar-benar siap untuk turun ke laut bisa memakan waktu sekitar dua bulan. Dengan keahlian khusus dari tangan-tangan terampil itu tentunya.
Walaupun tidak ada standar dalam proses pembuatan, berdasar penuturan Nirun, dalam pembuatannya juga melalui beberapa tahap yang harus dilakukan secara runtut. Tahap-tahap pembuatan perahu tradisional tersebut biasanya dimulai dengan pembuatan rangka haluan dan buritannya. Mereka biasa menyebutnya dengan istilah lenggih.
Balok kayu itu direka hingga bentuknya agak melengkung, dengan ukuran yang juga dihitung berdasarkan insting para tukang-tukang terampil itu. Pada ujung lenggih tersebut berikutnya akan dibuatkan semacam sambungan kayu, perpanjangan kayu, lagi yang disebut dengan tajuk. Hingga bagian ini nantinya akan sangat menonjol pada bagian depan dan belakang sebuah perahu.
Tahap berikutnya adalah, mereka akan menggabungkan kedua lenggih tersebut dengan sebatang kerangka utama lain, yang juga berupa balok kayu. Bagian ini disebut mereka dengan istilah lonas. Tahap berikutnya adalah dengan membuat rangka-rangka yang lainnya, yaitu pada bagian lambung perahu (disebut dengan tapegan).
Setelah tahap ini selesai, akan dilanjutkan dengan memasang kayu-kayu untuk pelapis lambung kapal. Pada bagian ini biasanya terdiri dari lima lapisan, dan setiap helai kayu itu mempunyai istilah sendiri. Berurutan mulai dari bagian paling bawah namanya, pangapet, jantelo, jengempat, balutan, dekap. Setelah diatas bagian dekap tadi baru dipasang papan kecil, yang tidak terlalu lebar, yang mereka sebut dengan tabir.
Setelah sekian tahapan tersebut selesai, baru kemudian dilanjutkan dengan pemasangan papan-papan kayu untuk dek. Setiap pekerjaan dilakukan dengan cermat dan teliti. Para tukang ini tidak membiarkan setiap lubang yang ada di tiap helai papan kayu itu.
Pada tiap sambungan papan menggunakan lem sebagai perekat. Lem yang digunakan adalah sampuran lem kayu dan semen, kadang ditambah serbuk gergajian kayu. Sedangkan bila pada permukaan kayu terdapat lubang-lubang kecil, yang tidak terlalu parah, biasanya akan ditutup dengan dempul. Barulah kemudian akan dilapisi dengan cat.
Untuk menggabungkan antar bagian dari perahu, beberapa disambung dengan menggunakan paku. Paku-paku ini sengaja dipesan, dengan ukuran dan bahan yang khusus dari baja. Tapi untuk perahu-perahu yang berukuran kecil, tidak menggunakan paku tersebut pada semua bagiannya. Beberapa bagian ada yang menggunakan pasak kayu.
Untuk mendapatkan bentuk tertentu dari kayu, adalah dengan cara di bakar. Pembakaran untuk satu lembar kayu bisa memakan waktu dua sampai tiga hari. Nirun bersama rekan-rekannya setiap hari mulai melakukan pekerjaannya itu mulai jam tujuh pagi hingga jam lima sore.
Berbeda bila mereka harus melakukan pembakaran. Karena kebiasaan mereka, pembakaran dilakukan pada malam hari. Maka setiap kali melakukan pembakaran kayu-kayu itu mereka baru pulang ke rumah sekitar jam sembilan malam.
Pengecatan merupakan tahap terakhir setelah semua bagian selesai dikerjakan. Yaitu setelah setiap bagiannya sudah tampak halus. Sebelum dicat dengan warna yang diinginkan, permukaan kayu itu harus dilapisi dengan cat dasar (meni). Hal itu juga berguna untuk menutup pori-pori kayu. Selain untuk menghindari kebocoran, juga untuk menghemat cat.
Setelah proses pengecatan selesai, beberapa bagian perahu lainnya pun dipasang. Seperti tiang, rumah-rumahan, mesin pendorong hingga derek penarik jaring. Setelah semua lengkap, berarti perahu ini sudah siap turun ke laut.
Dalam proses penggarapan, perkembangan jaman ternyata membawa kemajuan. Sekarang sudah mulai menggunakan peralatan modern. Seperti katrol dan rantai, alat bor mesin, hingga penghalus permukaan kayu yang juga menggunakan mesin bertenaga listrik.
Kisah Nirun, sekarang sudah lebih maju dibandingkan dulu. Dia mencontohkan kalau dulu untuk ngebor saja masih menggunakan tenaga otot dengan bor manual. Tapi sekarang pekerjaan mengebor kayu bukan hal sulit. "Tapi itu semua tergantung uangnya, kalau ada uang pekerjaan tukang akan bisa lebih mudah," tukasnya lagi.
Kabarnya dalam rangkain pembuatan perahu-perahu tersebut juga tidak lepas dari beberapa ritual khusus, semacam selamatan. Seperti menetapkan jam dan hari ketika akan memulai pembuatan, kapan kerangka perahu harus mulai digabungkan satu sama lain. Bahkan ketika perahu telah seratus persen selesai, pula harus dilakukan semacam selamatan khusus.
Begitu pula harus ditentukan secara pasti kapan pertama kali perahu itu akan di turunkan ke laut. Semua ritual tersebut dilakukan berdasarkan advise dari para sesepuh, serta para kyai dan ulama setempat yang sengaja diminta oleh sang empunya perahu.
Kata Nirun, ritual-ritual demikian akan sangat berkaitan dengan kelangsungan perahu itu sendiri kelak, kala sudah waktunya menjalankan tugasnya di laut. Konon kalau semua perhitungan dan pelaksanaan ritual itu tepat, akan membawa keberuntungan yang besar bagi perahu tersebut. Salah satu dampaknya adalah kesuksesan dalam mendulang hasil panen ikan.

Ratusan Juta
Perahu tidak sekedar perahu, perahu-perahu itu bisa menjadi harapan hidup dari sekian banyak orang. Bisa dibayangkan, ketika sebuah perahu berlayar berapa orang yang turut di dalamnya. Berapa harapan yang harus dipikul oleh masing-masing orang tersebut. Yang semuanya sangat mengandalkan hasil tangkapan ikan.
Begitu banyak perahu yang ada di lokasi tersebut, mulai perahu besar yang mempunyai panjang hingga 15 meter sampai dengan yang kecil, dengan panjang hanya 10-12 meter. Kesemuanya rata-rata adalah buatan dari para tukang perahu setempat.
Di daerah Pasongsongan itu memang terdapat banyak tukang perahu. Kalau mereka tidak membuat di daerahnya sendiri, biasanya diundang untuk membuat perahu ke daerah lain, di dekat-dekat sana seperti ke Slopeng dan lainnya.
Ongkos untuk seorang tukang perahu tidak bisa dibilang main-main. Untuk seorang tukang akan mendapat bayaran biasanya sekitar Rp 13,5 juta rupiah, untuk garapan satu unit perahu. Ini menjadi sangat lumrah, karena harga perahu itu sendiri juga sangat mahal.
Betapa pekerjaan membuat perahu itu, sekarang sudah bisa menjadi mata pencaharian tetap. Walaupun itu juga tergantung pada ada-tidaknya pesanan. Bagi Nirun kalau lagi tidak ada pesanan, maka dia akan kembali ikut melaut.
Untuk perahunya saja dengan ukuran besar, harga jualnya bisa mencapai Rp 120 juta. Tetapi kalau lengkap dengan perlengkapan motor pendorong dan piranti yang lainnya, harganya bisa mencapai Rp 250 juta.
Sampai sekarang selalu ada saja orang yang memesan untuk membuat perahu. Kata Nirun, "Saat ini yang memesan untuk dibuatkan perahu masih terbatas dari daerah-daerah di sekitar Sumenep saja." Tapi dia juga bangga, karena setelah garapannya ini selesai, sudah menunggu lagi pesanan pembuatan untuk dua perahu yang lain.
Perahu yang sedang dikerjakan Nirun kali ini, diperkirakan mampu menampung sekitar 10 ton ikan hasil tangkapan. Kebanyakan perahu yang dibuatnya memang perahu yang akan digunakan khusus untuk menangkap ikan, istilah setempat adalah majang.
Perahu dengan ukuran besar, panjang 14 meter ke atas, bisa memuat awak sebanyak 20-25 orang. Tetapi kalau perahu kecil yang ukurannya sekitar 10-12, paling banyak bisa dinaiki lima hingga tujuh orang. Jumlah awak ini juga disesuaikan dengan daya muat hasil tangkapannya.
Menilik usia perahu, biasanya bertahan selama lima tahun itu sudah cukup bagus. Walau demikian ada pula beberapa perahu yang usianya lebih dari itu. Namun, kata Nirun, kalau usianya sudah terlalu tua akan banyak membutuhkan perbaikan. Atau mungkin pula akan berpengaruh pada produktivitasnya dalam mendukung penangkapan ikan.
Yang paling khas dan bisa menjadi identitas yang membedakan perahu buatan daerah Pasongsongan itu dengan daerah lain adalah pada bagian rumah-rumahan di bagian buritan perahu. Mereka menyebutnya dengan jang-anjang. Dengan hiasan yang khas, baik ukiran pada beberapa bagiannya, hiasan lukisan hingga pilihan warnanya yang sangat menarik.
Memperhatikan sekian banyak perahu yang ada di lokasi tersebut, sempat hati merasa takjub. Inilah karya-karya mereka yang notabene tidak pernah mengenyam pendidikan ilmu perkapalan. Tapi toh mereka mampu mereka cipta perahu yang bisa diandalkan.
Para pembuat perahu nelayan ini tetap bertahan di antara hempasan ombak Laut Jawa dan gempuran industri pembuatan kapal-kapal penangkap ikan modern. Keras telapak tangan para pembuat perahu itu, mungkin tak seberapa dibandingkan keras semangat di hati mereka untuk teguh menjaga tradisi dan kemampuan alami mereka.-az alim

Dimuat di Majalah Mossaik, Agustus 2005

Label:


Komplitnya !
posted by Alim @ Senin, Oktober 01, 2007   0 comments
About Me

Name: Alim
Home: Surabaya, Jawa Timur, Indonesia
E-mail: parama.j@gmail.com
See my complete profile
Previous Post
Archives
Links
Template by

Free Blogger Templates

BLOGGER