Pusakanesia

Pusaka Negeri Untuk Berbakti

 
Aku
Hanya orang biasa yang suka memandangi keindahan masa kini. Aku suka menikmati indahnya masa silam pada bentuk yang masih tersisa. Aku hanya ALIM yang ingin berbagi apa yang pernah aku baca, aku lihat, dan aku dengar. Aku hanya ALIM yang ingin bersama-sama menjaga kenangan sejarah yang masih tersisa.
Aksi
Asa
Menapak kembali jalanan hidup. Walau kerikil khilaf dan salah menghadang, tetap harus kita tatap. Setelah sebulan kita berusaha membasuh jiwa, agar di 1 Syawal bisa kembali ke fitrah. Mari saling buka hati untuk menebar maaf. Melanglang hari baru dengan jiwa bersih dan tujuan mulia, menjadi hamba dengan ridho Ilahi. Amin!
Aktif

Free shoutbox @ ShoutMix
Hit
free hit counters
Gresik Lama
14 September 2007
Gresik, Kota Seribu Makam

Selama ini, Gresik dikenal sebagai kota santri. Tapi bahwa sejarah panjang terbentuknya kota Gresik tidak bisa dilepaskan dari sepak terjang pada auliya yang kini banyak di makamkan di Gresik, menjadikan kota ini disebut kota seribu makam.

Kota Gresik disebut sebagai kota santri, barangkali semua orang maklum. Tapi disebut kota seribu makam? Mungkin masih menimbulkan perdebatan. Tapi Suryono, Kepala Dinas Pariwisata Gresik, tidak menampik. Bahkan dia menegaskan, sebutan itu perlu dimengerti sebagai kota yang paling banyak terdapat makam auliya (para wali)-nya, dibanding daerah lain.
"Di samping jumlahnya banyak, perlu ditambahkan bahwa kualifikasi mereka yang di makam bukan orang kebanyakan. Mereka orang yang memiliki kelebihan dibanding masyarakat umum. Status mereka para wali atau kerabat wali," katanya tandas. Artinya, secara historis mempunyai keteladanan dan secara agama memiliki kelebihan.
Secara historis, sepak terjang para auliya itu, baik langsung maupun tidak, beperan dalam pembentukan kota Gresik. Karena itu sejarah panjang kota Gresik, tak bisa dilepaskan dari sejarah panjang mereka. Bahkan sampai mereka telah dikuburkan selama ratusan tahun lalu.
Ditegaskan, makam itu bisa menjadi medium mengenang, meneliti dan menjadi suri tauladan bagi generasi setelahnya. Karenanya, ada tradisi meruwat makam. Ruwatan itu bisa dilakukan dengan acara-acara khaul, mengirim doa-doa dan sebagainya. Tujuannya, untuk mengingat kembali orang-orang yang telah dimakamkan. "Itu yang terus dikembangkan bagi generasi mendatang," imbuhnya.
Secara persis berapa jumlah makam para wali di Gresik, kata Suryono, secara otentik masih terus dikembangkan. Tapi setidaknya sudah ada paguyuban para pengelola makam auliya yang aktif mengikuti pertemuan-pertemuan untuk pengembangannya. Mereka yang ikut aktif sekitar 50 orang, sementara jumlahnya diperkirakan mencapai 300-an tempat makam auliya, sampai pulau Bawean.
Nama dan jumlah makam yang sudah dikenal umum, ia akui, identifikasinya bukan sekaligus. Pengidentifikasian itu telah melalui proses panjang. Sepanjang usia makam itu sendiri. Dengan demikian, tuturnya, tidak menutup kemungkinan akan dikenali lagi makam-makam auliya yang lain yang tersebar di seluruh daerah Gresik.
Upaya pencarian itu dilakukan oleh dinas pariwisata bersama dengan orang-orang yang sudah tergabung dalam paguyuban. Justru upaya terbesar diharapkan dilakukan oleh mereka yang tergabung di paguyuban, karena mereka dinilai lebih intens, sehingga memudahkan untuk pengenalan terhadap makam-makam yang masih anonim.
Makam-makam yang sudah diketahui umum, sering didatangi peziarah dari seluruh Indonesia. Kegiatan ziarah itu, diakui Suryono, masih sebatas ziarah belum dikemas sebagai kegiatan wisata.
Dalam konteks pariwisata, boleh dikatakan sebagai wisata pilgramek (pariwisata keagamaan). Katanya, mereka kadang tidak mau disebut berwisata. "Tapi dari kacamata pariwisata, mereka sudah bisa disebut berwisata, mereka wisatawan," tandasnya. Harapannya, dari berbagai usulan masyarakat, nanti akan dikembangkan menjadi tempat wisata keagamaan sesuai kategorinya.
Sementara ini, perawatan terhadap makam masih dilakukan sendiri-sendiri. Seperti tradisi khaul dan semacamnya. Belum dilakukan secara holistik, artinya seluruh pihak ikut terlibat dalam penanganan. Tapi secara bertahap, menurutnya, akan dikembangkan menjadi obyek-obyek wisata keagamaan. Secara perlahan, bangunannya akan dipercantik, gapura masuknya dibuatkan, sarana-prasarana disediakan.

Kuburan Panjang
Sementara ini makam yang sudah dikenali jumlahnya puluhan. Makam-makam itu secara historis memiliki keterkaitan dengan sejarah, baik sejarah penyebaran agama di tanah Jawa maupun sejarah pemerintahan pertama di Gresik. Di wilayah kota Gresik saja, bila dirunut akan ditemukan makam para wali, selain yang sudah akrab di telinga.
Simak misalnya, makam Maulana Malik Ibrahim di Desa Gapuro. Wali yang dikenal dengan Syeh Maghribi, adalah tokoh penyebar agama Islam yang datang ke Jawa Timur sebagai pedagang. Kehadirannya di kota Gresik ini membuat agama Islam berkembang dengan pesat. Ia dikenal sebagai orang yang pertama memperkenalkan sistem pendidikan pondok pesantren yang dikenal sampai sekarang. Makam tersebut mempunyai keunikan, batu nisannya bertuliskan huruf Arab model Kafi.
Menurut Maksum, pengurus harian yayasan Maulana Malik Ibrahim, di area makam ini terdapat makam lain, yakni makam Syekh Maulana Ishak (bapak Sunan Giri), dan Syekh Maulana Magrabi (penasehat Malik Ibrahim). Selain di dua cungkup itu, juga terdapat sekitar 50 makam, yang dipercaya mereka adalah para santri Malik Ibrahim.
Di bukit Giri, di desa Giri Kebomas, disamping terdapat makam Sunan Giri, juga terdapat makam lain yang rata-rata memiliki sejarah yang hebat di masanya. Sebut misalnya Syekh Hujjah (penasehat Sunan Giri) yang konon dari Pasai. Syekh Grigis (penasehat), Mbah Dekah (keturunan), Sunan Prapen (cucu), Mbah Singolodro (prajurit), dan Raden Supeno (putera, meninggal waktu bayi).
Di samping itu terdapat makam Kanjeng Sunan Dalam, Kanjeng Sunan Sedo Ing Margi, Kanjeng Sunan Prapen (ketiganya pemimpin di Giri Kedhaton dan mengalami masa kejayaan). Dan makam Panembahan Kawis Guwo, Panembahan Agung, dan Panembahan Mas Witono (penerus kepemimpinan Sunan).
Makam-makam di sini mempunyai daya tarik tersendiri. Disamping merupakan makam wali yang keramat dan mempunyai nilai tersendiri dari pada makam-makam kuno lainnya, bangunannya dihiasi ukiran indah dan artistik. Yang paling tampak adalah Gapura pintu masuk terdapat patung Naga Bentar, naga dengan mahkota di kepalanya. Jaraknya sekitar 8 km dari pusat kota.
Di tengah kota juga ada makam Nyai Ageng Pinatih (Syah Bandar Gresik). Makamnya terletak di tengah kota Gresik, di Desa Kebungson berjarak sekitar 300 meter sebelah utara alun-alun kota Gresik.
Di Leran Kecamatan Manyar, terdapat makam Fatimah Binti Maimun. Merupakan salah satu tokoh yang penting dalam mengungkapkan sejarah masuknya Agama Islam di Pulau Jawa. Selain Siti fatimah, dayang-dayangnya juga dikuburkan di sana. Seperti putri Kamboja, putri Kucing, putri Keling dan Nyai Seruni.
Dimakam ini terdapat peninggalan sejarah berupa gapura, krepyak dan prasasti batu tertulis. Jaraknya sekitar 8 km dari kota Gresik. Di lingkungan makam ini, dikenal orang dengan sebutan makam panjang. Terdapat sekitar lim amkam, panjangnya mencapai 7 x 2 meter. Makam panjang itu diantaranya makam Sayid Dja'far, Sayid Kharim, Sayid Syarief, Sayid Djamaluddin, Sayid Djalal dan Sayid Djamal.
Di beberapa daerah lain, masih banyak makam yang juga dikenal luas masyarakat. Seperti Kyai Qamaruddin di Bungah dan Kanjeng Sepuh di Sidayu. Makam-makam lain di luar pusat kota rata-rata belum dikembangkan sebagaimana tempat wisata keagamaan atau wisata budaya semestinya.

Kendala dan Potensi
Seperti diakui Suryono, kendala utama untuk mengembangkan makam-makam itu sebagai tempat wisata, karena belum ada manajemen yang menyeluruh. Manajemen yang diterapkan selama ini, hanya dilakukan secara parsial oleh masyarakat di mana makam itu berada. Kegiatan yang dilakukan paling-paling sebatas khaul, tahlilan, dan semacamnya. Belum ada program khusus untuk menciptakan suasana wisata di tempat-tempat itu.
Seperti pengalaman Moh Hasan, 56, Sekretaris Yayasan Sunan Giri, bahwa untuk membuat suasana nyaman, tempat sekitar makam harus diperhatikan. Mulai kebersihan, perawatan bangunan, listrik dan air, perlu dijaga agar tidak mengganggu kenyamanan pengunjung. Tapi untuk semua itu membutuhkan biaya dan dukungan manajemen yang rapi, terutama dari dinas pariwisata, misalnya.
"Sekarang sudah ditetapkan, bahwa untuk perawatan makam adalah menjadi tanggung jawab bersama. Artinya dari masyarakatnya, pengurus yayasannya, maupun pemerintahnya. Jadi kalau kekurangan apa-apa, ya mestinya ditanggung bersama," harapnya.
Kendala lain di luar manajemen, seperti pengalaman di Giri, menurutnya, pengemis dan pedagang kaki lima. Diakui keberadaan mereka sedikit banyak mengganggu kegiatan para peziarah. Tapi di mana-mana kenyataan ini selalu muncul dan tak mudah ditangani. Walau mereka dibersihkan dari lokasi makam, akan selalu kembali besoknya lagi.
Seperti juga diakui Maksum, pihaknya tidak pernah minta-minta bantuan untuk perawatan makam Maulana Malik Ibrahim. Dua bangunan cungkup yang memayungi makam, dibenahi dengan biaya dari sedekah para peziarah. Bahkan ruang berdzikir yang ada di samping makam, juga dibangun sendiri dari sumber sedekah itu.
Belum lagi bicara soal benda-benda cagar budaya yang mesti dijaga keadaannya. Seperti peninggalan-peninggalan para auliya yang sudah didaftar sebagai benda cagar budaya, atau yang belum didaftarkan tapi harus dijaga. Semua itu memerlukan keseriusan semua pihak untuk sama-sama merawatnya, bila pun perlu memerlukan dana.
Padahal, seperti dalam laporan yayasan-yayasan itu, bahwa pengunjung yang datang ke makam, selama 1999-2003, tidak kurang ada 228 wisatawan asing, dan 7.462.115 wisatawan lokal. Jumlah itu hanya menghitung yang sempat terdata. Tidak menutup kemungkinan, banyak yang lolos dan tak sempat terdata.
Dari jumlah itu sebenarnya, kata Suryono, sangat potensial untuk dikembangkan di daerah-daerah lain yang layak. Dalam beberapa waktu ke depan, lanjutnya, akan dikembangkan lokasi wisata budaya baru, tepatnya di Surowiti. Meski bukan makam, tapi Surowiti adalah petilasan yang pernah digunakan kegiatan Sunan Kalijaga. "Kita akan lengkapi sarana-prasaran ke sana. Termasuk beberapa aktivitas puncak gerakan nasional rehabilitasi hutan dan lahan terpadu pada 18-2 kita pusatkan di sana," tambahnya. Kegiatan-kegiatan lain peneint diadakan untuk membackup kegiatan pariwisata di situ. Di Surowiti juga ada gua-gua yang ke depannya nanti akan di set up sehingga layak sebagai obyek wisata," imbuhnya.-husnul m.

*Dimuat di Majalah Mossaik, Edisi Maret 2004

Label:


Komplitnya !
posted by Alim @ Jumat, September 14, 2007   1 comments
Gresik Lama
12 September 2007
Ziarah Sunyi di Makam Giri

Di tengah hiruk-pikuk kehidupan yang kian gersang, ziarah ke makam wali kerap menjadi pilihan.


Gemeremang dzikir menyelimuti sudut-sudut makam Sunan Giri. Segenap peziarah berada dalam sikap takzim menghantarkan doa-doa. Tak ada suara berisik kecuali sayup-sayup terdengar lantunan kalam Ilahi. Sejurus kemudian mereka masuk dalam susana ekstase yang dahsyat di hadapan Yang Maha Agung.
Begitulah. Suasana makam Sunan Giri yang terletak di Giri Kedaton di kawasan Kebomas Gresik, tak pernah benar-benar sepi. Peziarah datang silih berganti; sendirian, sekeluarga, serombongan dari berbagai daerah. Mereka datang jalan kaki, naik kendaraan pribadi, atau carter bus lewat travel agency.
Siang itu, sehabis mengambil air wudlu, Ali Aziz, 36 tahun, langsung masuk ke dalam bangunan di mana Sunan Giri dimakamkan. Ia datang bersama isteri dan anaknya yang baru berusia 2,5 tahun. Ali Aziz mengenakan kemaja putih, bersarung, dan berkopyah. Isterinya, Radliyah, mengenakan jilbab putih sambil menggendong anaknya.
Mereka pun segera bersimpuh di sisi makam dengan khidmat. Setelah setengah jam kemudian mereka keluar untuk melanjutkan perjalanan. Kunjungan kali ini dianggapnya istimewa karena hanya selang tiga hari setelah haulnya Sunan Giri yang ke-500. Acara haulnya sendiri biasanya diadakan setiap Jumat di bulan Maulid Akhir, yang kali ini bertepatan tanggal 28 April 2006.
"Ini hari ketiga saya berkunjung ke sini sejak haul diadakan Jumat kemarin. Saya tidak bisa berlama-lama setelah punya anak kecil. Tidak seperti dulu. Kalau dulu saya bahkan bisa menginap sampai tiga hari suntuk saat haulnya Mbah Sunan. Sekarang saya lihat sudah jarang orang menginap di sini," ungkap pria asal Manyar Gresik.
Meski demikian, sambungnya, ia selalu melazimkan diri untuk ziarah ke makam Sunan Giri hampir setiap minggunya. Diupayakan setiap kunjungan selalu bersama keluarganya, termasuk anaknya. "Saya ingin mengajari anak saya sejak dini untuk mengenal lebih dekat dengan para wali. Sebab, terhadap wali kan tidak cukup hanya mengetahui saja. Bagi saya, anak-anak perlu mengetahui tempat makamnya, mengirim doa di situ, dan mengharap berkah Allah. Ini perlu dibiasakan," tandasnya.
Ditambahkan, kebiasaan yang dilakukannya seperti itu sama seperti yang dilakukan keluarganya dulu. "Bapak saya dulu sering mengajak saya berkeliling ke makam-makam para wali. Sehingga, saya pun terbiasa berziarah seperti ini," ucapnya.
Tak heran, ziarah yang dilakukan Ali Aziz bukan hanya di satu tempat atau di makam Sunan Giri saja. Ia juga kerap menyempatkan diri ke makam-makam lainnya di Gresik maupun daerah lainnya. Baik orang yang dimakamkan itu ada hubungan dengan Sunan Giri atau tidak. Dalam perjalanan kali ini saja, katanya, ia akan melanjutkan ziarah ke makam Maulana Malik Ibrahim. Di waku lain ia juga mendatangi makam-makam wali di Tuban, Surabaya, atau Pasuruan.
Hari itu, selain Ali Aziz sekeluarga, banyak datang peziarah lain silih berganti. Ada sekitar tujuh anak-anak remaja putri, dua pasang keluarga bersama bayinya, dua pasang keluarga lainnya dengan dandanan modis, dan serombongan peziarah yang berjumlah sekitar dua puluh orang yang sebagian besar perempuan.
Suyanto, 52 tahun, ketua rombongan dari Mojokerto mengatakan, rombongan itu datang menggunakan bus yang dicarter khusus. Rombongan ini datang agak siang karena sebelumnya mampir dulu ke makam Troloyo, Mojokerto. Mereka, yang rata-rata sudah sepuh itu, tampak tak menggubris teriknya mentari. Rombongan ini langsung memilih tempat di sisi timur makam Sunan Giri. Mereka duduk di sela-sela makam lainnya yang juga dinaungi cungkup.
Suyanto kemudian memimpin baca surat Yasin dan dilanjutkan tahlil, sebagaimana banyak peziarah membacanya. Sehabis itu, mereka tak segera beranjak. Mereka duduk-duduk dulu sambil selonjorkan kaki, melepas lelah. Ada yang tetap khusyuk, ada yang bercengkerama dengan temannya, dan ada yang langsung berdiri untuk melihat lingkungan sekeliling.
Meski diakui, kunjungan ke makam ini bukan kali pertama. Tapi bagi mereka, kunjungan dengan berombongan seperti itu berarti pula sebagai ajang rekreasi. "Apalagi kalau kunjungannya hanya ke satu atau dua tempat, maka kami bisa berlama-lama menikmati keadaan sekitar," imbuhnya.
Mereka juga rata-rata membawa bontotan makanan sendiri. Alasannya, kata Suyanto, dengan membawa makanan sendiri, mereka tak perlu repot mencari makan siang. Begitulah enaknya, tambahnya, kalau perjalanan ziarah ke lokasi yang dekat-dekat saja. Kalau perjalanan ziarah ke makam wali songo yang mencapai beberapa hari. "Paling-paling kita hanya membawa jajan saja," tukasnya.

Wisata Andalan
Jumlah kunjungan ziarah ke makam Sunan Giri, seperti hari itu, memang tak cukup banyak. Menurut M Hasan Azhar, 55, Sekretaris Yayasan Sunan Giri, paling-paling antara lima puluh hingga seratus pengunjung. Mereka datang dari daerah yang dekat dengan wilayah Gresik. Berbeda dengan hari libur, Jumat-Sabtu-Minggu, yang jauh lebih banyak. Mereka yang datang bisa dari seluruh Indonesia. Apalagi saat haul, pengunjungnya bisa mencapai ribuan orang.
"Kalau dihitung mungkin mencapai ratusan bus rombongan yang datang. Mulai dari sebelum hingga hari haul diadakan," ungkapnya. Karena, selama seminggu diadakan serangkaian acara dalam rangka memeringati Haul Sunan Giri yang ke-500 tahun.
Acara yang diadakan diantaranya; Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) se-Kecamatan Gresik yang diikuti 112 peserta pada 22 April. Kemudian, pada 26 April khataman Al-Quran dan pengajian untuk ibu-ibu. Disusul kemudian acara yang sama untuk bapak-bapak sehari berikutnya.
Pada hari berikutnya, dilakukan tahlil akbar dan pengajian umum yang juga dihadiri para ulama, para pemangku makam, dan bupati. Kemudian acara haul itu ditutup dengan penampilan hadrah yang melibatkan anggota Ishari (Ikatan Seni Hadrah) se-Jawa Timur. Selama seminggu itu, Hasan mengira, jumlah pengunjung bisa mencapai puluhan ribu orang.
"Mereka datang memang untuk mengikuti acara-acara itu, atau semata-mata ingin ziarah di hari baik tepat pada haulnya Sunan Giri. Macam-macamlah perilaku mereka," tuturnya. Namun, harapnya, selain hari-hari tertentu seperti haul, hari-hari lain juga tetap banyak kunjungan. Sebab, demikianlah yang juga diharapkan pemerintah.
Seperti diceritakan Hasan, beberapa waktu sebelumnya para pengelola wisata makam sempat dikumpulkan pemerintah di Semarang. Intinya, para pengelola makam se-Indonesia diharapkan mampu mendongkrak pemasukan, entah bagaimana caranya. Peningkatan pemasukan ini ditekankan mengingat obyek-obyek wisata lain sedang lesu. Obyek wisata alam, misalnya, belakangan dihantam bencana bertubi-tubi. Imbasnya, pendapatan dari obyek wisata ini mengalami penurunan drastis.
Anehnya, katanya, mengapa wisata makam yang ketiban sampur untuk memenuhi target pendapatan daerah, ketika obyek wisata lain sedang minus. "Padahal, kita tidak jual produk. Orang datang ke sini kan untuk ziarah. Terserah masyarakat mau ziarah atau tidak. Tidak bisa ditarget-target sebenarnya," tandasnya.
Masih untung, ungkapnya, pihak yayasan mendapat bantuan dari Imam Utomo, Gubernur Jawa Timur. Ceritanya, sebelum pemilihan gubernur, Imam Utomo sering ziarah ke makam Sunan Giri. Sebelum pulang ia sempat melihat bangunan kecil di sisi selatan makam yang dipakai pengelola sebagai kantor. Kontan ia memerintahkan anak buahnya untuk segera membantu, dan bangunan itu direhab menjadi kantor yang representatif.
Jauh setelah itu, Imam Utomo kembali memberi bantuan untuk membangun musholla wanita di sisi barat makam. Pembangunan musholla itu, ungkapnya, menghabiskan biaya senilai Rp 100 juta lebih. "Kami hampir tidak ikut mengeluarkan uang sepeserpun untuk membangun musholla tersebut," ucapnya.
Sebagai tempat wisata alternatif, sambungnya, penambahan fasilitas seperti itu memang dibutuhkan. Agar masyarakat bertambah nyaman berkunjung ke makam Sunan Giri. "Tak bisa dipungkiri, wisata makam makin digemari. Karena banyak masyarakat sudah makin resah dengan kehidupannya. Orang yang kehidupannya pas-pasan memang yang banyak ke sini. Tapi, tak sedikit orang kaya atau pejabat yang juga datang berziarah," kesannya. -husnul m

*Dimuat di Majalah Mossaik, Edisi Mei 2006

Label:


Komplitnya !
posted by Alim @ Rabu, September 12, 2007   0 comments
Malang Lama
11 September 2007
Ikon Terakhir Kota Malang
ALUN-ALUN BUNDER

Kawasan di sekitar gedung Balaikota Malang sudah tiga kali berganti nama, hingga akhirnya dikenal dengan Alun-alun Tugu.

Pada jaman India-Belanda, area taman yang tampak cantik dengan aneka lampu hias di malam hari itu disebut J.P. Coenplein (Taman J.P. Coen, Red). Kemudian pada masa itu pula, masyarakat lokal lebih mengenal dengan sebutan Alun-alun Bunder, karena semula memang merupakan kawasan terbuka yang berbentuk bundar. Dan terakhir habis perang kemerdekaan, setelah dibangun monumen atau tugu sebagai simbol perjuangan lalu disebut Alun-alun Tugu.
Kota Malang menjadi berbeda dengan daerah lain yang pusat pemerintahannya (Kabupaten dan Kabupaten Kota) letaknya berhimpit. Perbedaannya, di Malang mempunyai dua alun-alun, yang biasanya menjadi ciri utama di tiap daerah. Sebab itu pula, di Malang kemudian ada istilah Alun-alun Kembar. Jarak kedua alun-alun tersebut pun tak lebih dari 500 meter. Keduanya dipisahkan oleh aliran Sungai Brantas.
Sekilas penataan kawasan di daerah ini integratif, ini tapak dari tahapan-tahapan pengembangannya. Seperti halnya pengembangan kawasan alun-alun tugu ini. Di masa India-Belanda area ini disebut dengan Kawasan Gubernur Jenderal (Gouverneur General Buurt). Alasannya, di masa itu nama-nama yang dipakai sebagai penanda jalan dan yang lainnya adalah nama-nama gebernur jenderal Belanda yang pernah memimpin di tanah air.
Tata kota Malang pada mulanya berbentuk pita (Band), membujur Utara-Selatan yang menghubungkan antara alun-alun kota lama dengan jalur menuju Surabaya. Kemudian atas sentuhan Thomas Karsten, seorang planolog kebangsaan Belanda, dicoba dikembangkan ke arah Timur-Barat. Karsten ini konon turut berjasa dalam perancangan kota di beberapa daerah seperti Jogja, Bandung, dan Semarang. Salah satu dan yang terakhir keterlibatannya dalam penataan kota adalah di Malang.
Perkembangan kota yang berbentuk linier ini oleh Karsten dianggap kurang menguntungkan, terutama dalam hal distribusi. Pertama yang dikembangkannya adalah dari daerah Claket ke arah Rampal. Kemudian yang kedua adalah kawasan gouveneur general buurt itu, di sekitar alun-alun bunder. Pengembangan kawasan kedua ini terhalang oleh Sungai Brantas. Oleh sebab itu kemudian dibangun jembatan, yang sekarang berada di Jalan A. Yani.
Pembangunan jembatan ini mengemban maksud untuk menghubungkan akses alun-alun bunder dengan jalur utama di daerah Kayu Tangan. Hingga kemudian terbentuk persimpangan, yang sangat dikenal dengan Perempatan Raja Bali. Kemudian untuk menghubungkan dua kawasan, alun-alun kota lama dan kawasan alun-alun bunder agar lebih dekat, dibangun lagi jembatan yang di Jalan Majapahit. Di awal, jalur penghubung ini dikonsepkan sebagai boulevard, karena itu jembatan yang dibuat juga didesain dengan indah.
"Jelas sekali, walaupun ada barrier alam justru dimanfaatkan Karsten mengembangkan kawasan yang semula terisolir ini," papar M. Dwi Cahyono, sejarawan Malang. Pertanyaannya kemudian, mengapa kawasan ini dikembangkan. Hal ini juga terkait dengan pengembangan bidang administrasi pemerintahan. Sejak tahun 1914, ada perkembangan di bidang pemerintahan di daerah ini. Sebelum tahun itu, Malang masih berupa Kadipaten. Dimana pusat pemerintahannya di kawasan alun-alun lama. Di sana tampak Pendopo Kadipaten yang persis berada di sebelah Timur alun-alun.
Pada tahun 1914, Malang juga mendapat status sebagai Kota Praja (Gemeente), sekarang dikenal dengan Kotamadya. Kondisi ini menuntut sebuah pusat pemerintahan tersendiri, maka dipilih lah kawasan J.P. Coen. Sebab itu pula kemudian didirikan gedung balai kota yang berhadapan dengan alun-alun bunder itu.
Pengembangan kawasan ini sebenarnya rancangannya sudah disetujui sejak tahun 1920. Dan realisasi pembangunan gedung balai kota dimulai dua tahun kemudian. Menurut Dwi Cahyono, jalannya roda pemerintahan Kota Praja Malang sebelumnya pernah menggunakan gedung lain sebelum menempati gedung balai kota yang sekarang. Sayang, tidak ada informasi lengkap di mana lokasi persisnya balai kota sementara itu.
Pengembangan kawasan di Malang dinilai menunjukkan kepiawaian Karsten dalam menata kota. Apa yang dilakukannya berdasarkan konsep yang matang dan terencana. Tahap demi tahap yang dilakukan tidak terpisah, tetapi terintegrasi sebagai sebuah jaringan.

Sentrum
Alun-alun bunder pada masa lampau sempat menjadi titik pusat yang kemudian dihubungkan dengan jalan ke arah empat penjuru mata angin di Kota Malang. Di awal keberadaannya titik sentrum ini merupakan lapangan terbuka. Hal ini berbeda dengan kondisinya sekarang, titik pusat itu terlindung di balik pagar. "Harus diakui bahwa pembangunan pagar itu lepas dari konsep semula," sergah Dwi pada Mossaik.
Konon, ada pihak yang keberatan dengan pemagaran itu, karena akan menghilangkan konsep awalnya terutama dari sisi historisnya. Namun hal ini harus dilakukan demi melindungi tanaman dan keindahan penataan di sekeliling monumen Tugu. Ini merupakan perbedaan pertama.
Kedua, tepat di tengah-tengah alun-alun kini muncul tugu. Padahal semula di tengah-tengah hanya ada kolam dengan air mancur. Kabarnya tugu ini terkait dengan sejarah mempertahankan kemerdekaan. Pada antara tahun 1947-1948, alun-alun ini menjadi saksi sejarah, sebagai medan pertempuran. Sebab itu pula maka didirikan monumen Tugu Perjuangan.
Tugu itu sendiri dibangun pada tahun 1945, walau masih dalam bentuk pondasi kemudian sempat dihancurkan oleh Belanda. Pada tahun 1952, pembangunan tugu ini kembali dilanjutkan. Peresmiannya dilakukan oleh Presiden Pertama RI, Ir. Soekarno, pada 20 Mei 1953.
Nama alun-alun tugu muncul setelah masa kemerdekaan RI. Alun-alun bunder juga merupakan salah satu tempat yang dipilih oleh Soekarno, Presiden pertama RI, untuk menyampaikan pidato kenegaraannya, setelah masa proklamasi. Alun-alun masih terbuka, demikian halnya gedung balai kota tanpa pagar. "View-nya, minus pertimbangan-pertimbangan keamanan, sebenarnya lebih cantik ketika tanpa pagar," Tutur dosen sejarah di Universitas Negeri Malang ini.
Gagasan untuk membuat alun-alun kembar yang diterapkan Thomas Karsten bisa jadi terinspirasi dari dua taman yang ada di Amsterdam, Belanda. Ini kemudian coba ditiru, dan ternyata di Malang juga memungkinkan. Maka jadilah dua kawasan dengan dua alun-alun yang letaknya berdekatan.
Bagian lain dari kawasan ini merupakan komponen yang terencana satu sama lain. Selain bangunan balai kota (Gemeentehuis) di sekitar alun-alun tugu juga terdapat bangunan yang juga berperan dalam catatan sejarah di masanya. Seperti gedung sekolah HBS/AMS, rumah kediaman di masa kolonial, Hotel Splendid (sekarang jadi Wisma IKIP Negeri Malang), dan Kantor Dinas Topografi, serta bangunan villa lainnya.
Dulu AMS ini merupakan sekolah negeri, kemudian setelah masa kemerdekaan berubah nama menjadi SMA Alun-alun Bunder. Dalam perkembangannya sekarang, sekolah ini dipecah menjadi tiga SMU Negeri (1, 3, dan 4). Gedung sekolah yang ada di sana, kabarnya pada masa pendudukan Jepang sempat dijadikan tangsi militer. Sekolah ini sempat mengalami tiga kali alih fungsi, dari gedung sekolah, lalu menjadi tangsi militer, kemudian berubah lagi menjadi sekolah.
Di sebelah Utara dan Barat, berdiri gedung militer yang tegak hingga sekarang. Gedung tersebut milik Kodam V Brawijaya. Dengan demikian semakin lengkap, kawasan alun-alun bunder ini sebagai pusat pemerintahan, pusat pendidikan, pusat militer, dan pusat transportasi pada masa itu. Pusat transportasi yang dimaksud adalah dibangunnya stasiun kereta api yang berada di sebelah timur.
Di Malang, sebenarnya jauh sebelumnya sudah ada stasiun kereta api. Letaknya di kota lama, agak ke selatan kota Malang sekarang. Namun, kemudian Karsten membuat terobosan dengan mendirikan kembali Stasiun Kota Baru yang letaknya relatif lebih dekat dengan pusat Kota Praja.
Cukup sudah alasan, untuk kemudian menyebutkan bahwa kawasan ini menjadi komplek yang penting. Hingga kini kawasan ini tetap menjadi titik sentrum bagi kota malang. "Hanya saja, kini pemilahan antara pusat pemerintahan Kota dan Kabupaten sudah kurang jelas seperti dulu," ujar Dwi. Terlebih ketika pemerintah kabupaten tidak lagi memfungsikan alun-alun lama sebagai bagian dari pusatnya. Sehingga kesan yang muncul kini pemerintah kabupaten itu seperti numpang saja di wilayah Kota Malang.
Lalu, kawasan alun-alun lama kini terasa sudah tidak lagi sebagai pusat pemerintahan kabupaten. Tetapi lebih sebagai pusat bisnis, yaitu dengan tumbuhnya beberapa pusat perbelanjaan di sekitarnya. Bahkan, pendoponya pun terkesan makin tersingkir keluar kawasan alun-alun lama.
Sekarang, yang masih menjadi maskot atau ikon keindahan kota Malang adalah di kawasan alun-alun bunder. "Sehingga bila ini kemudian hilang, makan ikon malang akan habis," pungkas Dwi. Menurutnya, kini malang tinggal memiliki dua kawasan yang bisa menjadi ikon keindahan tempo dulu. Kawasan Alun-alun Tugu dan kawasan Ijen, selanjutnya tinggal bagaimana masyarakat dan pemerintah setempat menjaganya. Bila kelak keduanya lenyap, maka lenyap sudah pusaka masa lalunya.-az alim

*Dimuat di Majalah Mossaik, Edisi April 2006

Label:


Komplitnya !
posted by Alim @ Selasa, September 11, 2007   0 comments
Malang Lama
10 September 2007
GEMEENTEHUIS
Tak jadi berbentuk udang.

Malang ditetapkan sebagai Kota Praja sejak 1914, namun pada masa itu pemerintahan masih diurus oleh Gemeenteraad (Dewan Kota), tidak serta-merta mempunyai gedung sebagai pusat pemerintahan. Bahkan, gedungnya sendiri baru rampung sekitar tahun 1929. "Ada rentang waktu sekitar 15 tahun, baru punya balai kota," tutur Dwi Cahyono. Secara resmi kantor balai kota ini dibuka pada tahun 1930.
Gagasan perencanaan gedung balai kota ini muncul pada akhir 1926 (pada saat Walikota pertama, HI. Bussemaker). Proses pembangunan balai kota ini juga sangat menarik. Rancangan bangunan pusat pemerintahan ini konon disayembarakan. Diikuti sebanyak 22 orang perancang yang rata-rata berkebangsaan Belanda dan Perancis.
Berdasar hasil rapat dewan pada 14 Pebruari 1927, diputuskan rancangan H.F. Forn (arsitek berkebangsaan Belanda) yang paling baik. Rancangan dengan motto Vor de Burgers Van Malang (Untuk Warga Kota Malang) milik Forn dianggap paling sesuai.
Pembangunan pun dilakukan mulai tahun 1927, sekitar dua tahun masa pembangunan. Untuk pembangunan saja menelan biaya sebesar 287.000 gulden. Sementara untuk kebutuhan melengkapi perabot di dalamnya, menghabiskan uang sebanyak 12.325 gulden. Rancangan interior pada bangunan ini digarap oleh C. Citroen.
Bangunan yang menghadap ke alun-alun bunder ini luas, dimana bagian belakangnya berhadapan langsung dengan Sungai Brantas. Bentuk awal rancangan Forn, bangunan balai kota ini dari tampak atas bentuknya seperti kepala udang, dengan dua kakinya ke depan. Pembangunanya kemudian dilakukan secara bertahap. Dari bagian utama, kemudian berlanjut ke dua bagian sampingnya.
Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, ternyata tidak semua bagian bisa diwujudkan. Diantaranya, bentuk kedua kakinya tidak bisa dibanguan. "Sayang, tidak semua bagian bisa terwujud. Padahal kalau bisa akan sangat cantik," sergah Dwi lagi.
Di awal bangunan ini memang di proyeksikan sebagai bagunan terbuka. Mungkin karena fungsinya untuk pusat layanan pemerintahan. Namun dalam perkembangannya, kembali untuk pertimbangan keamanan, pandangan ke bangunan ini harus terhalang oleh pagar.
"Oya, saya ingat dulu di tengah-tengah alun-alun bunder itu ada jam raksasa di atas tanah. Dan pagar taman dan balai kota juga belum ada. Sangat cantik, entah kenapa kemudian di bongkar," paparnya lagi. Dwi menilai, adanya pagar itu justru mengurangi kecantikan taman dan view balai kota itu.
Secara fisik bangunan balai kota ini, terdiri dari dua lantai. Setidaknya kini terbagi menjadi 17 ruang dari masing-masing bagian dalam pemerintahan Kota Malang. Ruang Walikota dan wakilnya serta ruang sidang berada di lantai dua.
Konon, bangunan ini sempat di renovasi sebanyak dua kali. Pertama yaitu pada bagian depannya dipasang kanopi atau sosoron. Dan renovasi kedua mencabut kembali sosoran tersebut, maksudnya untuk mengembalikan ke desain awalnya.
"Dalam perjalanannya, pengembangan gedung ini lebih dilakukan ke bagian belakang," jelas Drs. P. Alwiyono SH, Kabag Humas Pemkot Malang. Menurutnya secara rutin dilakukan perawatan, tanpa merubah bentuk aslinya. Beberapa bagian yang disentuh hanya pada interior, seperti plafon. Sementara bentuk pintu atau jendela yang asli tetap dipertahankan. Bangunan bernilai sejarah ini, tetap dijaga dan terawat, walau cakupan layanan pemerintah kota kepada masyarakat semakin meluas. Di antara salah satu solusinya dengan membangun bangunan-bangunan baru di belakang Gemeentehuis itu.-az alim

*
Dimuat di Majalah Mossaik, Edisi April 2006

Label:


Komplitnya !
posted by Alim @ Senin, September 10, 2007   0 comments
About Me

Name: Alim
Home: Surabaya, Jawa Timur, Indonesia
E-mail: parama.j@gmail.com
See my complete profile
Previous Post
Archives
Links
Template by

Free Blogger Templates

BLOGGER